"Credimus Ergo Cogitamus": April 2025

Senin, 21 April 2025

How big is God for you?

 

Anthony Collins adalah seorang filsuf Deisme[1] dari Inggris yang sangat dipengaruhi oleh John Locke. Suatu hari ia berpapasan dengan seorang Kristen yang sedang menuju gereja. Setelah bercakap-cakap sebentar ia kemudian bertanya kepada orang Kristen ini, “Allah yang kamu sembah itu besar atau kecil?” Orang Kristen ini menjawab “Dua-duanya. Ia begitu besar sampai langit yang mengatasi langit pun tidak dapat memuatnya, tetapi Ia begitu kecil hingga Ia bisa tinggal di hatiku”.

Jawaban ini begitu mengagetkan Anthony Collins sehingga di kemudian hari dia menulis bahwa jawaban orang Kristen yang sederhana itu memberikan pengaruh yang lebih besar kepadanya daripada segala buku filsafat yang pernah dibacanya. Pertanyaanya, “How big is God for you”. Jawaban ini akan menentukan kerohanian kita dan akan mempengaruhi seluruh hidup kita mengenai pengenalan akan Allah, siapa Allah itu, seberapa besar Ia sesungguhnya di dalam hidup kita.

Bila kita menyelidiki banyak kekhawatiran didalam hidup kita, maka salah satu akarnya adalah karena kita tidak percaya Allah mampu memelihara hidup kita. Banyak orang Kristen menjalani hidup seolah-olah Allah itu tidak ada. Apakah Allah itu real? Apakah ada atau tidak ada Allah memberi dampak pada hidup kita? Mana yang lebih susah: tidak ada Allah atau tidak ada uang?, putus pacar atau putus dengan Allah? Ada orang-orang yang sudah sangat resah dan susah ketika kehilangan mobile phone selama seminggu, namun tidak merasakan apa-apa bila tidak membaca Alkitab selama seminggu, atau tidak pergi ke gereja dan berdoa.

How big is God for you tidak bisa dijawab dengan banyaknya pengalaman atau luasnya pengertian kita tentang Firman, tetapi bagaimana Firman itu, yang telah Tuhan nyatakan bagi kita, berpengaruh dalam kehidupan kita. Rasul Paulus begitu kagum ketika ia diminta untuk membongkar dan menuliskan isi hati Tuhan yang begitu indah, begitu agung yang mengandung anugerah dan belas kasihan, suatu kekaguman dari sesorang yang mengenal Allah yang begitu besar dan begitu berdaulat didalam kehidupan dia.

 

Ravi Zacharias pernah mengatakan bahwa sense of wonder (Rasa Heran) seseorang terhadap sesuatu semakin lama semakin meningkat. Menurut Ravi Zacharias, disaat umur kita semakin meningkat dan sudah mempunyai pengalaman yang begitu banyak dengan peristiwa yang terjadi didalam hidup kita, maka sesungguhnya hanya Tuhan-lah yang begitu besar yang tidak akan pernah menghabiskan rasa kagum kita sampai selama-lamanya. Ketika kita mengenal dan mengerti Dia secara mendalam, yaitu kemuliaan-Nya, keagungan-Nya, kedaulatan-Nya, cinta kasih-Nya dan pengorbanan-Nya bagi kita, maka kekaguman kita tidak akan habis-habisnya, terpesona kepadaNya seumur hidup sampai selama-lamanya. Biarlah kekaguman kita kepada Tuhan dapat kita cultivate berdasarkan Firman yang telah Tuhan nyatakan kepada diri kita

Ayat yang kita baca diatas adalah bagian ke-dua dari doksologi Paulus yang menyatakan kekagumannya pada Allah. O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Pengetahuan Allah yang mengetahui segala sesuatu secara sempurna. Bandingkan dengan pengetahuan kita yang terbatas dengan pengertian yang tidak sempurna. Memang semakin banyak kita belajar, maka semakin kita sadar bahwa banyak hal yang sebenarnya kita tidak tahu.

Arthur W. Pink mengatakan, “Allah itu maha tahu, Dia tahu segalanya, Dia tahu segala kemungkinan, dia tahu segala yang terjadi dan apa yang mungkin akan terjadi, Dia tahu semua peristiwa, Dia tahu apa yang terjadi di dalam masa yang lalu, masa sekarang, masa yang akan datang. Semua makhluk Dia ketahui secara detail, Dia secara sempurna mengtahui setiap detail kehidupan, di sorga, di bumi, di neraka. Tidak ada yang terlepas dari perbuatan-Nya dan dari perhatian-Nya, tidak ada yang tersembunyi bagi Dia, tidak ada yang terlupakan oleh Dia, Dia tidak pernah salah, tidak pernah lupa hingga harus mengubah rencana-Nya.

 

Dia adalah Allah yang mengetahui segala sesuatu secara sempurna”.Tidak heran Paulus mengatakan pujiannya karena pengertiannya yang dalam tentang Allah. Pengertian ini seharusnya memiliki dampak dalam kehidupan kita, misalnya harus lebih takut kepada Allah daripada takut kepada manusia karena Allah mengetahui pikiran, isi hati, rencana, apa yang kita kerjakan, bahkan semua yang tersembunyi yang orang lain tidak tahu. Namun yang terjadi adalah seringkali tidak konsisten. Kita lebih takut kepada bos daripada kepada Tuhan, padahal ada atau tidak ada bos Tuhan tetap hadir disitu.

Ada 3 hal yang perlu kita lakukan untuk kemuliaan nama Tuhan, yaitu:

Pertama, kesadaran ini akan membuat kita menjadi orang rendah hati. Ayub adalah orang benar dan saleh yang mengalami banyak penderitaan yang sangat menyusahkan namun tidak berbuat salah dihadapan Tuhan. Walaupun demikian Ayub juga bergumul dan merasa susah, ditambah lagi dengan kehadiran teman-temannya yang justru menuduh dia telah berbuat dosa yang besar sehingga mengalami segala kesulitan itu.

Ia bertahan dan meminta Tuhan menjawab mengapa ia mengalami kesulitan dan penderitaan seperti ini (yang berlangsung selama 37 pasal), namun Tuhan seolah-olah diam hingga akhirnya pada pasal 38 Tuhan datang dan berbicara kepada Ayub, menjelaskan mengapa Ia membiarkan Ayub menderita dan berbelas kasihan kepadanya. Ia menjelaskan sedemikian rupa dengan tidak menjawab pertanyaan Ayub secara langsung namun Ia menyatakan diri-Nya yang Maha Tahu. “Di manakah engkau, ketika Aku meletakkan dasar bumi? Ceritakanlah, kalau engkau mempunyai pengertian!”, adalah salah satu dari banyak pertanyaan yang Tuhan ajukan di ayat 38 yang membuat Ayub tersadar betapa kecil dan remehnya dia dihadapan Tuhan yang begitu besar dan berdaulat, yang pada akhirnya membuat ia mampu berkata "Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu." (Ayub 42: 6). Beginilah salah satu respons dari anak Tuhan yang sejati: merendahkan dirinya dihadapan Tuhan.

Kedua, pengenalan Tuhan yang sempurna pengetahuanNya menghibur kita. Ia yang mengetahui segala isi hati dan pergumulan kita, Ia yang mengetahui segala doa kita. Dalam 1 Samuel 1, Tuhan menjawab permohonan Hana yang berdoa dengan sedih sekali karena terus diejek oleh Penina karena tidak mempunyai anak. Ia mendengar doamu, mengetahui isi hatimu dan akan menjawab permintaanmu yang datang dari hatimu yang paling dalam.

Di dalam Kitab Keluaran Tuhan berkata kepada Musa Aku telah mendengar seruan dan jeritan umatKu Israel. Mereka berteriak karena ditindas dan dianiaya oleh Mesir, dijadikan budak, namun sebenarnya Tuhan sudah menjawab doa mereka 40 tahun sebelumnya, yaitu dengan lahirnya Musa. Tuhan memelihara dan mempersiapkannya menjadi pemimpin Israel keluar dari Mesir karena Tuhan sudah tahu apa yang akan terjadi, mendengar doa umatNya dan sudah mempersiapkan Musa jauh sebelumnya.

Ketiga, pengenalan akan Tuhan mendorong kita untuk mentaati Dia. Dalam Mazmur 139 dinyatakan Dia yang tahu segala sesuatu, turut pula bekerja di dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi orang yang mengasihi Dia. Mengenal Allah yang demikian tentulah membuat pe-Mazmur, yang demikian juga seharusnya kita, berkata, “Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!” (Mazmur 139: 23-24).

Begitu banyak orang di dunia ini yang tidak menganggap Allah seperti apa yang Rasul Paulus nyatakan kepada kita yaitu Allah yang besar Allah yang mulia. Di mata manusia yang tidak mengerti, Allah seperti hal kecil yang remeh tidak berdaya yang bisa diabaikan. Sebagaimana bintang di langit yang oleh mata manusia terlihat begitu kecil karena jaraknya yang begitu jauh. Namun bila kita menggunakan teleskop maka kita mengetahui bahwa bintang itu sebenarnya sangatlah besar, jauh lebih besar daripada bumi.

 Hendaknya hidup kita seperti teleskop yaitu membesarkan Allah yang terlihat kecil dimata manusia, karena Dia adalah besar, karena Dia adalah mulia, Dia mengetahui sedalam-dalamnya hati kita. Biarlah kita meninggalkan semua dosa, bersandar dan taat kepadaNya, melakukan segala apa yang berkenan kepadaNya sehingga sungguh namaNya dipermuliakan dan ditinggikan.



[1] Kata "deisme" berasal dari kata deus dalam bahasa Latin yang diartikan sebagai Tuhan atau dewa. Dari kata ini, konsep keberadaan Tuhan dijelaskan dengan kondisi yang berpisah dari alam semesta dengan jarak yang jauh. Deisme meyakini bahwa Tuhan hanya berperan dalam banyak hal berupa, penciptaan alam semesta dan tidak berperan di dalam pengaturannya. Segala proses yang terjadi di alam semesta dianggap telah ditetapkan sejak awal penciptaan secara tetap dan sempurna.


Rabu, 16 April 2025

Peran Yudas dalam Narasi Penebusan: Sebuah Analisis Kristologis dan Eskatologis



Artikel ini menganalisis posisi Yudas Iskariot dalam narasi penebusan Yesus Kristus dengan pendekatan Kristologis dan Eskatologis. Kajian ini bertujuan menggali apakah peran Yudas bersifat instrumental dalam rencana keselamatan Allah atau murni sebagai akibat dari kehendak bebas manusia. Analisis dilakukan melalui studi literatur teologi klasik, eksposisi ayat-ayat kunci, dan sintesis pemikiran Bapa-Bapa Gereja serta teolog kontemporer.

 

Pendahuluan

Topik mengenai pengkhianatan Yudas Iskariot dan hubungannya dengan kemahatahuan Yesus serta kehendak bebas manusia merupakan isu teologis yang telah banyak diteliti dalam teologi Kristen. Dalam konteks ini, ada ketegangan antara doktrin predestinasi, kehendak bebas, dan rencana keselamatan Allah yang menempatkan peran Yudas dalam posisi yang sangat kompleks sebagai bagian dari rencana ilahi, sekaligus agen moral yang bertanggung jawab atas tindakannya. Mengapa Tuhan Yesus memilih Yudas Iskariot sebagai murid dan bendahara, padahal Ia Mahatahu dan pasti tahu Yudas akan mengkhianati dan bahkan memanipulasi uang kas?

Dalam Yohanes 6:70–71, Yesus menyebut salah satu murid-Nya, Yudas, sebagai "iblis," yang menunjukkan kemahatahuan Yesus akan masa depan Yudas, termasuk pengkhianatannya. Teologi klasik memaknai hal ini sebagai penegasan bahwa Yesus mengetahui peran Yudas dalam rencana keselamatan Allah, di mana pengkhianatan Yudas harus terjadi untuk menggenapi nubuat-nubuat Mesianik seperti yang tercantum dalam Mazmur 41:10 dan Zakharia 11:12-13.

Beberapa teolog, seperti Augustinus, memandang tindakan Yudas sebagai bagian dari “divine necessity” atau keharusan ilahi agar karya salib dapat terlaksana, namun hal ini tidak menghapus tanggung jawab moral Yudas. Allah dapat memakai kejahatan manusia untuk mencapai tujuan kebaikan-Nya tanpa menjadi penyebab langsung kejahatan tersebut. Dalam konteks teologi kehendak bebas dan determinisme, ajaran Arminianisme menegaskan bahwa manusia memiliki kehendak bebas sejati, sehingga meskipun Yesus mengetahui pengkhianatan Yudas, Yudas tetap bertanggung jawab karena membuat keputusan secara bebas. Sebaliknya, pandangan Kalvinis menekankan bahwa Yudas sudah ditentukan sejak awal untuk peran tersebut sebagai bagian dari rencana predestinasi Allah.

Narasi Yudas dalam Injil Yohanes berfungsi secara teologis untuk mengontraskan antara terang dan gelap, kasih dan pengkhianatan, di mana Yudas diposisikan sebagai simbol kegelapan yang menolak kasih Kristus meskipun berada dalam lingkaran pelayanan Yesus secara langsung.[1] Simbolisme iblis dan agen kegelapan juga muncul dalam Yohanes 13:27, yang menyebutkan bahwa “Setan masuk ke dalam Yudas” setelah menerima roti dari Yesus, menegaskan bahwa pengkhianatan Yudas melibatkan dimensi spiritual dan kosmik dalam pertarungan antara kuasa terang dan kegelapan. Namun, Yudas tetap dianggap sebagai pelaku aktif, bukan korban pasif dari pengaruh iblis.

Tanggung jawab moral Yudas ditegaskan dalam narasi Injil, di mana walaupun tindakannya digunakan dalam rencana keselamatan, ia tetap menerima kecaman dan “celaka” dari Yesus, sebagaimana tercermin dalam Matius 26:24. Hal ini menunjukkan penekanan etis bahwa pengkhianatan adalah kejahatan, meskipun Allah dapat memakainya untuk tujuan-Nya.[2] Perspektif teologi simpatik muncul dalam Injil Yudas, sebuah teks non-kanonik yang menggambarkan Yudas sebagai murid yang taat dan mengkhianati Yesus atas permintaan-Nya sendiri, membuka diskusi tentang kompleksitas peran Yudas dan bagaimana gereja awal menafsirkan identitasnya, meskipun pandangan ini ditolak oleh ortodoksi Kristen.[3]

Dari sudut pandang sosio-politik, pengkhianatan Yudas dapat ditafsirkan sebagai respons terhadap ketidaksesuaian antara harapan politis Mesias dan kenyataan pelayanan Yesus, di mana Yudas mungkin merasa kecewa karena Yesus tidak memenuhi harapan revolusioner yang ia dan banyak orang lain dambakan.[4] Selain itu, dalam Yohanes 13:18-30, terlihat bahwa Yesus mengalami kepedihan emosional akibat pengkhianatan Yudas, yang menunjukkan bahwa meskipun Yesus mengetahui apa yang akan terjadi, hubungan personal antara Guru dan murid tetap memiliki makna mendalam dan mempertegas kemanusiaan Yesus yang merasakan duka atas pengkhianatan tersebut. Akhir tragis Yudas, yaitu bunuh diri sebagaimana dicatat dalam Matius 27:5, ditafsirkan oleh gereja mula-mula sebagai penyesalan yang mendalam namun tanpa pertobatan sejati. Augustinus menyebutnya sebagai contoh penyesalan tanpa harapan, dan teologi Kristen umumnya melihat hal ini sebagai bukti kehendak bebas manusia yang digunakan untuk menolak rahmat Allah, bukan sebagai korban nasib semata.

 

Kristologi: Peran Yudas dalam Jalan Salib

Peran Yudas Iskariot dalam jalan salib Yesus merupakan salah satu aspek penting dalam studi kristologi yang menghubungkan nubuat, penderitaan Mesias, dan pengetahuan ilahi Allah. Pertama, nubuat pengkhianatan Yudas sudah tercermin dalam Mazmur 41:10, yang dikutip secara eksplisit oleh Yesus dalam Yohanes 13:18. Dalam ayat ini, Yesus menyatakan bahwa orang yang makan bersama-Nya akan mengangkat tumit terhadap-Nya, sebuah metafora yang menggambarkan pengkhianatan dari seseorang yang sangat dekat. Kutipan ini menegaskan bahwa pengkhianatan Yudas bukanlah kejadian acak, melainkan bagian dari rencana ilahi yang telah dinubuatkan dalam Kitab Suci Perjanjian Lama. Hal ini menunjukkan kesinambungan antara nubuat Mesianik dan penggenapannya dalam peristiwa jalan salib.

Dalam konteks teologi penderitaan, Anselmus dari Canterbury memberikan kontribusi penting melalui karyanya Cur Deus Homo (Mengapa Allah Menjadi Manusia). Anselmus menegaskan bahwa keselamatan manusia hanya dapat dicapai melalui penderitaan dan pengorbanan yang sempurna dari Mesias.[5] Dalam kerangka ini, peran Yudas sebagai pengkhianat bukan hanya sebagai pelaku kejahatan, tetapi juga sebagai agen yang mempercepat klimaks penderitaan Kristus. Dengan demikian, pengkhianatan Yudas menjadi bagian integral dari proses penebusan, di mana penderitaan Yesus mencapai puncaknya melalui penangkapan dan penyaliban-Nya. Anselmus menekankan bahwa tanpa penderitaan yang sempurna ini, keselamatan tidak mungkin terwujud.

Selanjutnya, dalam aspek pengetahuan ilahi, Agustinus dari Hippo memberikan pandangan teologis yang mendalam dalam Confessiones (Pengakuan), khususnya Buku VII, paragraf 13. Agustinus menulis bahwa tidak ada kejahatan yang terjadi di luar pengetahuan Allah, dan Allah mampu membalikkan setiap kejahatan menjadi kebaikan.[6] Dalam hal ini, pengkhianatan Yudas, meskipun merupakan tindakan jahat, tidak lepas dari pengawasan dan rencana Allah yang mahatahu. Allah menggunakan tindakan jahat tersebut sebagai sarana untuk mencapai tujuan keselamatan yang lebih besar, yaitu penebusan manusia melalui salib Kristus. Pandangan ini menegaskan kemahatahuan dan kedaulatan Allah dalam sejarah keselamatan.

Dari perspektif kristologi, peran Yudas dalam jalan salib menegaskan dualitas sifat Yesus sebagai Mesias yang mengetahui segala sesuatu dan sekaligus mengalami penderitaan manusiawi. Yesus sadar akan pengkhianatan yang akan dilakukan Yudas, namun tetap memilih untuk melanjutkan misi-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa penderitaan dan kematian-Nya bukanlah akibat ketidaktahuan atau kegagalan, melainkan bagian dari rencana keselamatan yang telah ditetapkan oleh Allah sejak semula. Dengan demikian, jalan salib menjadi pusat dari karya penebusan yang melibatkan unsur kemahatahuan ilahi dan pengalaman manusiawi Yesus.

Dalam kajian akademis, hubungan antara nubuat Mazmur 41:10 dan penggenapannya dalam Yohanes 13:18 sering dianalisis sebagai contoh hermeneutik nubuat Mesianik yang terwujud dalam Perjanjian Baru.[7] Para sarjana Alkitab menekankan pentingnya konteks historis dan teologis dalam memahami bagaimana teks Perjanjian Lama diinterpretasikan ulang dalam narasi Injil. Hal ini memperlihatkan bahwa pengkhianatan Yudas bukan hanya peristiwa historis, tetapi juga simbolik dalam rencana keselamatan yang lebih luas.

Selain itu, teologi penderitaan yang dikembangkan oleh Anselmus membuka diskusi tentang makna penderitaan Kristus dalam konteks penebusan. Anselmus menggunakan argumen rasional dan filosofis untuk menjelaskan mengapa Allah harus menjadi manusia dan menderita demi menebus dosa manusia. Konsep ini menjadi dasar bagi banyak teologi penebusan selanjutnya, yang melihat penderitaan Yesus sebagai syarat mutlak untuk menghapus dosa dan memulihkan hubungan manusia dengan Allah.

Agustinus, dengan pendekatan filosofis dan teologisnya, menegaskan bahwa Allah tidak hanya mengetahui segala sesuatu, tetapi juga mengendalikan sejarah keselamatan dengan cara yang melampaui pemahaman manusia. Dalam Confessiones, ia menulis tentang bagaimana Allah mengizinkan kejahatan terjadi untuk tujuan yang lebih besar, yaitu kebaikan yang abadi. Ini memberikan landasan teologis bagi pemahaman bahwa pengkhianatan Yudas, meskipun jahat, tetap berada dalam kendali Allah dan berkontribusi pada rencana keselamatan.

Dalam konteks kristologi kontemporer, peran Yudas juga menjadi bahan refleksi tentang hubungan antara kehendak bebas manusia dan kedaulatan ilahi. Para teolog modern sering membahas bagaimana tindakan jahat manusia dapat berinteraksi dengan rencana Allah tanpa menghilangkan tanggung jawab moral individu. Hal ini memperkaya pemahaman tentang penderitaan Kristus sebagai pengalaman yang melibatkan interaksi kompleks antara kehendak manusia dan rencana ilahi. Akhirnya, studi tentang peran Yudas dalam jalan salib mengajak kita untuk merenungkan misteri keselamatan yang melibatkan penderitaan, pengkhianatan, dan pengetahuan ilahi. Melalui nubuat, penderitaan, dan kemahatahuan Allah, jalan salib menjadi pusat dari karya penebusan yang mengubah sejarah manusia. Kajian ini tidak hanya memperdalam pemahaman teologis, tetapi juga mengajak umat beriman untuk menghayati makna penderitaan dan pengorbanan Kristus dalam kehidupan mereka.

Eskatologi: Kejatuhan Yudas dan Konsekuensi Kekal

Kejatuhan Yudas Iskariot dan akibat kekalnya merupakan tema penting dalam eskatologi Kristen, yang menghubungkan aspek moral, teologis, dan keselamatan kekal. Yudas, setelah menyadari kesalahannya dalam mengkhianati Yesus, merasa menyesal dan mengembalikan uang perak yang diterimanya, namun akhirnya memilih untuk bunuh diri. Keputusannya ini menandai keterputusannya dari rahmat Allah, berbeda dengan Petrus yang meski jatuh dalam dosa, bertobat dan kembali kepada Yesus. Dalam teologi, pertobatan Yudas dipandang sebagai penyesalan duniawi yang tidak mengarah pada perubahan hati yang sejati, sehingga ia menjadi simbol bagi mereka yang menolak keselamatan dan akhirnya berakhir dalam kebinasaan.[8]

Perbedaan antara Yudas dan Petrus menjadi refleksi mendalam dalam eskatologi Kristen. Keduanya mengalami kejatuhan moral, namun reaksi mereka sangat berbeda. Petrus, meskipun menyangkal Yesus tiga kali, bertobat dengan tulus dan kemudian diangkat sebagai pemimpin gereja mula-mula. Sebaliknya, Yudas menolak pengampunan dan memilih jalan kehancuran. Hal ini menegaskan bahwa pilihan manusia memiliki dampak kekal dalam rencana keselamatan Allah. Eskatologi Kristen menekankan bahwa meskipun Allah memegang kendali atas sejarah keselamatan, manusia tetap memiliki tanggung jawab moral dalam keputusan mereka yang menentukan nasib kekal mereka.

Dalam Yohanes 17:12, Yesus menyebut Yudas sebagai "anak kebinasaan," yang mengarah pada pemenuhan nubuat dan rencana ilahi. Ini sejalan dengan Roma 9:22–23 yang menyebutkan konsep "bejana murka untuk kebinasaan," di mana Allah menggunakan sebagian orang untuk tujuan penghakiman. Namun, banyak teolog modern, seperti Gerhard Lohse, menolak interpretasi determinisme mutlak terhadap ayat-ayat ini dan lebih menekankan bahwa teks-teks tersebut menunjukkan bagaimana Allah menggunakan kehendak bebas manusia dalam rencana-Nya, bukan sebagai penetapan mutlak.[9]

Secara teologis, kejatuhan Yudas menunjukkan ketegangan antara kedaulatan Allah dan kehendak bebas manusia. Eskatologi Kristen mengajarkan bahwa Allah mengetahui dan mengizinkan segala hal terjadi, termasuk kejatuhan Yudas, tetapi tidak memaksa manusia untuk berbuat jahat. Yudas bertanggung jawab atas pilihannya sendiri, dan penolakannya terhadap rahmat Allah membawa konsekuensi kekal berupa kebinasaan. Hal ini menegaskan bahwa keselamatan adalah anugerah yang harus diterima dengan sukarela oleh individu. Dalam kajian akademis, perbandingan antara Yudas dan Petrus sering digunakan untuk menggambarkan dua kemungkinan akhir bagi manusia: pertobatan dan pengampunan versus penolakan dan kebinasaan. Narasi Injil menempatkan kedua tokoh ini sebagai simbol dari pilihan moral yang menentukan nasib kekal manusia, dengan Petrus menjadi contoh pertobatan dan pemulihan, sementara Yudas menjadi peringatan akan bahaya penolakan terhadap rahmat Allah.

Selain itu, konsep “anak kebinasaan” dalam Yohanes 17:12 dan “bejana murka” dalam Roma 9 menimbulkan perdebatan teologis mengenai predestinasi dan kehendak bebas. Lohse dan teolog lain menegaskan bahwa ayat-ayat ini harus dipahami dalam konteks keseluruhan Alkitab yang menekankan tanggung jawab moral manusia. Allah menggunakan pilihan manusia, bahkan yang jahat, untuk mewujudkan rencana-Nya tanpa menghilangkan kebebasan manusia untuk membuat keputusan. Dalam eskatologi, kejatuhan Yudas mengingatkan kita akan realitas penghakiman kekal. Gereja mula-mula dan teologi Kristen tradisional melihat kematian Yudas sebagai contoh tragis dari seseorang yang menolak rahmat dan berakhir dalam kebinasaan. Ini menjadi peringatan bagi umat beriman untuk menjaga iman dan menerima pengampunan Allah dengan sungguh-sungguh, agar tidak mengalami nasib yang serupa. Kajian teologis juga menunjukkan bahwa meskipun Yudas mengalami kejatuhan, narasi Injil tidak mengabaikan kasih dan keadilan Allah. Allah memberikan kesempatan untuk bertobat, seperti yang terlihat pada Petrus, namun juga menghormati keputusan manusia yang menolak rahmat-Nya. Hal ini mencerminkan keseimbangan antara kasih Allah dan keadilan-Nya dalam eskatologi Kristen.

Sintesis Teologis dan Implikasi Pastoral

a.    Pengkhianatan dalam Rencana Ilahi

Yudas Iskariot, yang dikenal sebagai pengkhianat dalam kisah kehidupan Yesus, memegang peranan penting dalam pemahaman teologis mengenai pengkhianatan dan dosa. Yudas memang pelaku dosa besar, menyerahkan Yesus dengan harga tiga puluh keping perak, namun dalam pandangan teologis, dosa ini digunakan Allah untuk tujuan yang lebih tinggi, yaitu penebusan umat manusia melalui kematian Yesus di salib. Dalam hal ini, meskipun Yudas secara pribadi bertindak sebagai agen pengkhianatan, tindakan itu menjadi bagian dari rencana keselamatan Allah yang lebih besar. Seperti yang dijelaskan dalam teologi Kristen, Allah seringkali bekerja melalui tindakan manusia, meskipun dalam bentuk ketidaksempurnaan dan dosa, untuk tujuan yang lebih besar, yakni keselamatan umat manusia.[10]

b.    Tuhan Mengubah Kejatuhan Menjadi Kemuliaan

Pernyataan Josephus dalam Antiquities bahwa “Allah tidak menciptakan kejahatan, tetapi Ia tidak membiarkannya sia-sia” menggambarkan pandangan teologis yang mendalam tentang kehadiran kejahatan dan penderitaan di dunia.[11] Dalam konteks Yudas, meskipun ia berperan dalam mengkhianati Yesus, tindakan itu pada akhirnya menjadi bagian dari rencana Allah yang lebih besar. Kejatuhan moral Yudas, yang berupa tindakan jahat, diubah oleh Allah menjadi sarana untuk membawa kemuliaan tertinggi bagi umat manusia. Ini mengingatkan kita bahwa Allah tidak hanya hadir dalam kebaikan, tetapi mampu mengubah penderitaan dan kejahatan menjadi alat yang membawa pada keselamatan dan kemuliaan-Nya.[12]

 

Implikasi Pastoral

Dalam pelayanan pastoral, gereja tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa di tengah-tengah umat, selalu ada kemungkinan munculnya "Yudas", individu yang terlibat dalam pelayanan namun tidak menunjukkan pertobatan sejati. Hal ini memanggil gereja untuk lebih waspada, rendah hati, dan selalu membuka ruang bagi kasih dan disiplin rohani. Gereja perlu menyadari bahwa tidak semua orang yang terlibat dalam komunitas iman memiliki hubungan yang benar dengan Tuhan, dan meskipun demikian, gereja harus terus memberikan kesempatan bagi mereka untuk bertobat. Tugas pastoral gereja adalah menjaga keseimbangan antara kasih yang penuh pengertian dan disiplin yang mendidik, sehingga mereka yang terperangkap dalam dosa bisa dipulihkan.[13]

a.    Waspada dalam Pelayanan Kristen

Dalam pelayanan Kristen, kewaspadaan adalah sikap yang sangat penting. Gereja harus menyadari bahwa di antara anggota umat, ada potensi pengkhianatan atau penyelewengan dari ajaran Kristus. Waspada bukan berarti curiga terhadap setiap individu, tetapi menyadari bahwa dalam setiap komunitas, ada kemungkinan ketidaksesuaian dalam perilaku yang merusak integritas tubuh Kristus. Dalam hal ini, gereja diharapkan untuk tidak hanya mengandalkan suasana kasih tanpa mempertimbangkan potensi godaan atau dosa yang dapat muncul dalam kehidupan sehari-hari para anggotanya.[14]

b.    Rendah Hati dalam Menghadapi Tantangan

Rendah hati adalah sikap yang perlu dimiliki gereja ketika menghadapi mereka yang mungkin jatuh dalam dosa atau yang tidak bertobat. Gereja harus mengakui bahwa semua orang, termasuk mereka yang mungkin tidak sesuai dengan standar moral yang diharapkan, membutuhkan kasih dan pengampunan dari Allah. Melalui pengajaran Yesus, gereja belajar bahwa tidak ada satu pun orang yang sempurna, dan dalam setiap tindakan disiplin rohani, gereja harus menunjukkan sikap rendah hati dan kesediaan untuk mendampingi mereka kembali ke jalan yang benar. Gereja harus memiliki pemahaman bahwa bahkan mereka yang gagal moral sekali pun tetap memerlukan kesempatan untuk bertumbuh dalam kasih dan pengampunan yang Tuhan tawarkan.[15]

c.    Membuka Ruang untuk Kasih dan Disiplin Rohani

Kasih dan disiplin rohani adalah dua komponen yang saling melengkapi dalam pelayanan gereja. Kasih memanggil orang yang terjatuh untuk kembali, sementara disiplin rohani membantu menjaga tubuh Kristus tetap murni. Gereja harus mampu menggabungkan keduanya dalam tindakan pastoral yang penuh hikmat. Dengan membuka ruang untuk kasih yang menerima, gereja juga perlu mempraktikkan disiplin yang tepat untuk memastikan agar anggota tetap berada dalam relasi yang benar dengan Tuhan dan sesama. Disiplin rohani yang bijaksana menjadi cara gereja untuk menolong orang yang terperangkap dalam dosa untuk kembali kepada Tuhan melalui pertobatan yang sejati.[16]

d.    Teologi Pengampunan dalam Pelayanan Pastoral

Teologi pengampunan merupakan dasar yang sangat penting dalam pelayanan pastoral Kristen. Pengampunan bukan hanya tentang memaafkan dosa, tetapi juga tentang pemulihan hubungan yang rusak. Dalam pelayanan pastoral, gereja diundang untuk mewujudkan kasih Allah yang tak terbatas, yang bukan hanya memberikan pengampunan tetapi juga memfasilitasi pemulihan individu dalam komunitas iman. Gereja dipanggil untuk mengampuni dengan cara yang sama seperti Allah mengampuni kita, memberikan kesempatan bagi mereka yang bertobat untuk kembali ke jalan yang benar dan memulai hidup baru dalam Kristus.[17]

e.    Disiplin Rohani Sebagai Sarana Pemulihan

Disiplin rohani bukan hanya sekadar peneguran, tetapi merupakan sarana pemulihan yang mengarah pada pembentukan karakter. Gereja perlu mempraktikkan disiplin dengan tujuan yang positif, yakni membawa individu kembali dalam kebenaran dan kedamaian dengan Tuhan. Dalam hal ini, disiplin yang dimaksud bukanlah hukuman yang melukai, melainkan cara untuk membimbing mereka yang terjatuh dalam dosa untuk menemukan jalan kembali kepada Tuhan. Disiplin rohani yang dilandasi kasih akan memampukan gereja menjadi tempat yang penuh dengan pemulihan bagi setiap individu.[18]

f.     Kehidupan Gereja sebagai Komunitas Pemulihan

Gereja harus berfungsi sebagai komunitas yang mendorong pemulihan, bukan hanya sebagai tempat untuk menerima orang yang sudah bertobat, tetapi juga untuk membantu mereka yang masih dalam perjalanan menuju pertobatan. Dalam gereja, setiap orang memiliki kesempatan untuk dipulihkan, tanpa terkecuali. Pemulihan bukan hanya tentang pengampunan dosa, tetapi juga tentang mengembalikan individu pada tujuan hidup yang lebih tinggi dalam Kristus. Gereja perlu menyediakan ruang yang aman bagi setiap orang untuk berjuang bersama, saling menguatkan, dan membangun kehidupan bersama yang lebih baik dalam kasih dan kebenaran.[19]

Kesimpulan: Keseimbangan dalam Pelayanan Pastoral

Teologi mengenai pengkhianatan dan pemulihan yang terkandung dalam kisah Yudas memberikan wawasan penting dalam pelayanan pastoral. Gereja tidak hanya dipanggil untuk mendampingi mereka yang sudah pasti bertobat, tetapi juga harus bijaksana dalam menghadapi kenyataan bahwa di tengah gereja ada kemungkinan adanya "Yudas" yang belum bertobat. Melalui kewaspadaan, kerendahan hati, kasih, dan disiplin rohani, gereja bisa menyediakan ruang untuk pemulihan bagi mereka yang jatuh dalam dosa dan membawa mereka kembali ke dalam kasih dan panggilan Tuhan yang lebih besar.

 

 

 

 

 

 

 



[1] Yohanes Yuniatika, and Yushak B. Setyawan. "Pengkhianatan Yudas Iskariot Terhadap Yesus Dalam Injil Yohanes." Theologia Jurnal Teologi Interdisipliner 6 (2019): 61-84.

[2] Nasokhili Giawa, "Serving Others: Keteladanan Pelayanan Yesus Kristus Berdasarkan Yohanes 13." Integritas: Jurnal Teologi 1.1 (2019): 54-65.

[3] Firman Panjaitan, "Resensi Buku The Gospel of Judas dari Kodeks Tchacos." Fidei: Jurnal Teologi Sistematika dan Praktika 4.2 (2021): 315-325.

[4] Yohanes Yuniatika, and Yushak B. Setyawan. "Pengkhianatan Yudas Iskariot Terhadap Yesus Dalam Injil Yohanes." Theologia Jurnal Teologi Interdisipliner 6 (2019): 61-84.

[5] Anselmus dari Canterbury, Cur Deus Homo, hlm. 63, diterjemahkan dan diterbitkan ulang dalam berbagai edisi teologi klasik.

[6] Agustinus, Confessiones, Buku VII, §13, dalam terjemahan bahasa Inggris oleh Henry Chadwick, Confessions, Oxford University Press, 1991.

[7] Raymond E. Brown,  The Gospel According to John (XIII–XXI), Yale University Press, 1970,

[8] Stott, John, The Cross of Christ, InterVarsity Press, 1986

[9] Ed Parish Sanders, Paul and Palestinian Judaism: A comparison of patterns of religion. Fortress Press, 1977.

[10] Divine Providence And The Problem Of Evil: A Translation Of St. Augustine's De Ordine. Kessinger Publishing, 2010., 93

[11] Flavius Josephus, The Antiquities of the Jews Volume 1. Classic Books Library, 2009., 135.

[12] Karl Rahner, Foundations of Christian Faith. Seabury Press, 1978., 102.

[13] Jürgen Moltmann, Theology of Hope: On the Ground and the Implications of a Christian Eschatology. Fortress Press, 1993., 123.

[14] Christopher J. H. Wright, The Mission of God: Unlocking the Bible's Grand Narrative. IVP Academic, 2006., 178.

[15] Dietrich Bonhoeffer, Ethics. Scribner, 1995., 59.

[16] George Hunsinger, Disruptive grace: studies in the theology of Karl Barth. Wm. B. Eerdmans Publishing, 2000., 130.

[17] Lesslie Newbigin, The Open Secret: An Introduction to the Theology of Mission, Revised ed. William B Eerdmans Publishing Co, 1995., 204.

[18] Desmond Mpilo Tutu, Hope And Suffering: Sermons And Speeches. William B Eerdmans Publishing Co. 2004., 144.

[19] Tutu, Hope And Suffering: Sermons And Speeches.


Selasa, 08 April 2025

"Apakah Yudas Diampuni? Telaah Teologis tentang Pengampunan dalam Pengkhianatan terhadap Kristus"



Pendahuluan

Pengampunan merupakan inti dari teologi Kristen, terutama dalam karya keselamatan yang dilakukan oleh Yesus Kristus. Namun, kisah Yudas Iskariot menimbulkan ketegangan teologis tersendiri. Sebagai murid yang mengkhianati Yesus dengan mencium-Nya untuk menyerahkan kepada para imam kepala (Mat. 26:47–50), Yudas bukan hanya menjadi simbol pengkhianatan, tetapi juga sebuah teka-teki moral dan teologis. Pertanyaan penting muncul: apakah Yesus mengampuni Yudas, dan apakah pengampunan itu berlaku bagi seseorang yang dianggap sebagai pengkhianat utama dalam narasi Injil?

Pertanyaan "Apakah Yudas diampuni?" menuntut kajian yang tidak hanya bersifat naratif, tetapi juga soteriologis dan etika. Penelitian ini akan mengeksplorasi teks-teks Injil, serta menelaah berbagai pandangan patristik, reformatoris, dan kontemporer mengenai kemungkinan pengampunan terhadap Yudas. Fokus utamanya adalah bagaimana pengampunan ilahi bekerja dalam kasus ekstrem seperti pengkhianatan terhadap Putra Allah.

Tujuan utama tulisan ini adalah untuk menelusuri kemungkinan teologis pengampunan terhadap Yudas Iskariot dan apa maknanya bagi doktrin anugerah, kehendak bebas, serta natur kasih Allah. Kajian ini juga berupaya memperlihatkan bagaimana pemahaman tentang pengampunan dapat berdampak terhadap persepsi kita tentang keadilan, pertobatan, dan penyesalan dalam terang Injil.

Kajian Literatur & Teologi Historis

Pandangan Tradisional Gereja Awal Para Bapa Gereja seperti Augustinus cenderung menolak kemungkinan pengampunan bagi Yudas. Dalam De Civitate Dei, Augustinus menekankan bahwa meskipun Yudas menunjukkan penyesalan (Mat. 27:3), hal itu tidak setara dengan pertobatan sejati. Ia lebih banyak dikaitkan dengan murka ilahi ketimbang anugerah.[1]

Perspektif Reformasi John Calvin secara tegas menyatakan bahwa Yudas adalah “vessel of wrath” yang ditentukan untuk kebinasaan.[2] Calvin tidak menolak bahwa Yudas merasa bersalah, tetapi menurutnya rasa bersalah itu adalah “remorse without faith”, sehingga tidak membuahkan keselamatan. Teologi Katolik Katekismus Gereja Katolik menyatakan bahwa kita tidak boleh berspekulasi tentang status kekal seseorang tanpa wahyu ilahi yang jelas (KGK 1037). Dalam hal ini, Gereja Katolik membuka kemungkinan pengampunan universal, tetapi menyerahkan status Yudas kepada misteri kehendak Allah.

Teologi Kontemporer Sebagian teolog modern seperti Hans Urs von Balthasar dan Karl Rahner menyarankan bahwa cinta Allah melampaui dosa terburuk sekalipun. Von Balthasar secara eksplisit tidak mengklaim bahwa Yudas diampuni, tetapi ia mempertanyakan pemahaman tentang neraka kekal yang terlalu deterministik, dalam artian  Pandangan bahwa tidak satu pun harus dinyatakan secara pasti binasa [3]

 

  Eksplorasi Naratif Pengampunan dalam Injil: Yesus kepada Petrus vs Yudas

Dalam Injil, dua tokoh murid Yesus yang menonjol dalam narasi pengkhianatan dan pengampunan adalah Petrus dan Yudas Iskariot. Keduanya melakukan pelanggaran serius terhadap Yesus: Yudas mengkhianati-Nya kepada para imam kepala (Matius 26:14–16), sementara Petrus menyangkali-Nya tiga kali (Matius 26:69–75). Namun, nasib keduanya sangat berbeda: Petrus dipulihkan, sementara Yudas berakhir dalam keputusasaan dan bunuh diri. Kontras ini telah menjadi fokus refleksi teologis dan eksistensial dalam sejarah Kekristenan, menyangkut pemahaman tentang pengampunan, pertobatan, dan anugerah.

a)     Pengampunan dan Pemulihan Petrus

Petrus mengalami kegagalan yang mendalam, tetapi Injil Yohanes mencatat pemulihannya secara indah dalam Yohanes 21:15–19. Di pantai Danau Tiberias, Yesus menanyakan tiga kali kepada Petrus: "Apakah engkau mengasihi Aku?"—mencerminkan tiga kali penyangkalan Petrus. Pertanyaan ini bukan hanya retoris, melainkan tindakan restoratif, simbol dari pengampunan dan pemanggilan ulang Petrus untuk menggembalakan umat. Seperti dikemukakan oleh Raymond E. Brown dalam The Death of the Messiah narasi ini menunjukkan “pemberian kembali martabat dan otoritas rohani setelah kejatuhan.”[4] Pemulihan Petrus mencerminkan dinamika kasih karunia yang aktif bekerja dalam kehidupan murid.

b)     Yudas dan Tragedi Pengkhianatan

Berbeda dengan Petrus, Yudas tidak menerima adegan pemulihan dalam narasi Injil. Dalam Matius 27:3–5, Yudas menunjukkan penyesalan ("menyesal dan mengembalikan uang perak"), tetapi ia tidak mendekat kepada Yesus atau komunitas murid untuk mencari rekonsiliasi. Banyak teolog, seperti N.T. Wright dalam Jesus and the Victory of God menyoroti bahwa Yudas terjebak dalam rasa bersalah dan isolasi yang destruktif, bukan pertobatan sejati (metanoia). Yudas memilih untuk memisahkan diri dari komunitas dan akhirnya bunuh diri, tindakan yang dipandang sebagai tragis dalam kerangka narasi Injil yang menawarkan pengampunan universal.[5]

c)     Dimensi Teologis: Anugerah, Pertobatan, dan Komunitas

Secara teologis, narasi pengampunan terhadap Petrus dan penolakan Yudas mengilustrasikan pentingnya respons terhadap kasih karunia. Pengampunan tersedia bagi semua, tetapi harus diterima dengan kerendahan hati dan keterbukaan terhadap komunitas iman. Paul Tillich dalam The Shaking of the Foundations menulis, "Pengampunan adalah jawaban Tuhan terhadap kejatuhan manusia, dan penerimaannya membutuhkan keberanian untuk percaya bahwa kita dapat diampuni."[6] Petrus membuka diri terhadap pengalaman kasih Yesus, sedangkan Yudas menutup diri dalam penyesalan tanpa pengharapan.

 

d)     Kesimpulan: Kontras Eksistensial dan Naratif

Naratif Petrus dan Yudas bukan hanya kisah masa lalu, tetapi gambaran eksistensial tentang pilihan manusia antara menerima pengampunan atau terjebak dalam rasa bersalah. Dalam kerangka Injil, Yesus menawarkan pengampunan bahkan kepada pengkhianat, namun respons manusia menentukan hasil akhir dari kisah tersebut. Sebagaimana ditunjukkan dalam artikel oleh Joel B. Green, narasi ini mengajak pembaca untuk tidak hanya mengutuk Yudas, tetapi merefleksikan bagaimana kita pun menghadapi kegagalan dan pengampunan dalam hidup iman.[7]

  Pertobatan dan Rasa Bersalah Yudas: Kajian Naratif dan Teologikal

a.      Dimensi Naratif: Penyesalan Yudas dalam Injil Matius

Dalam Matius 27:3–5, Yudas dikisahkan "menyesal" (Yunani: metamelētheis) setelah menyadari bahwa Yesus telah dijatuhi hukuman mati. Ia mengembalikan tiga puluh uang perak dan berkata, "Aku telah berdosa karena menyerahkan darah orang yang tak bersalah." Namun, penyesalan ini berbeda secara semantik dengan pertobatan sejati (metanoia) yang kerap digunakan untuk menggambarkan perubahan hati dalam Injil. Sebagaimana dikemukakan oleh Donald A. Hagner, istilah metamelomai lebih menekankan pada kesedihan emosional atau penyesalan atas akibat, bukan perubahan eksistensial dalam arah hidup.[8]

b.     Apakah Yudas Bertobat? Perdebatan Teologikal

Pertanyaan tentang apakah Yudas benar-benar bertobat masih menjadi topik debat dalam teologi Kristen. Beberapa teolog, seperti Hans Urs von Balthasar dalam Dare We Hope That All Men Be Saved? (1988), menyatakan bahwa meskipun Yudas menyesal, ia tidak berpaling kembali kepada Yesus, sehingga tidak mengalami pemulihan seperti Petrus. Yudas bertindak sebagai hakim atas dirinya sendiri dan memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Dalam tradisi Katolik dan Ortodoks Timur, tindakan bunuh diri ini menjadi tanda bahwa penyesalan Yudas tetap bersifat tertutup dan tidak menghasilkan pembaruan relasional dengan Allah.[9]

c.      Rasa Bersalah vs Pertobatan: Distingsi Antropologis

Secara antropologis dan psikologis, rasa bersalah dapat mengarah pada dua arah: rekonsiliasi atau kehancuran diri. Paul Tournier menegaskan bahwa rasa bersalah yang tidak dikelola dalam terang kasih karunia akan mendorong seseorang pada keputusasaan. Yudas, dalam konteks ini, adalah figur tragis yang gagal menavigasi rasa bersalahnya melalui iman atau komunitas.[10] Sementara Petrus menangis dan tetap dalam persekutuan, Yudas menjauhkan diri dan memilih isolasi.

d.     Kesadaran Moral Yudas dan Dimensi Etisnya

Narasi Yudas justru menunjukkan bahwa ia memiliki kesadaran moral dan etika terhadap dosanya. Ia tidak bersikap acuh atau membenarkan tindakannya. Namun, tanpa tindakan untuk kembali kepada Kristus atau komunitas para murid, penyesalan itu tidak menjadi jalan menuju keselamatan. Hal ini diperkuat oleh refleksi dalam Dictionary of Jesus and the Gospels (IVP, 1992, hlm. 396), yang menyatakan bahwa “Yudas menjadi simbol seseorang yang melihat akibat dosanya namun tidak melihat harapan dalam belas kasih Allah.”[11] Keputusannya untuk bunuh diri bukan hanya tindakan ekstrem, melainkan simbol keputusasaan teologis.

e.     Refleksi Teologis: Apakah Masih Ada Harapan bagi Yudas?

Beberapa pemikir kontemporer mencoba mengevaluasi kembali narasi Yudas dengan nada yang lebih penuh belas kasih. Jurgen Moltmann dalam The Crucified God menulis bahwa “Yudas menjadi bagian dari penderitaan Yesus karena ia mengantar jalan salib terjadi.” Dalam pengertian ini, penderitaan dan rasa bersalah Yudas bukan sekadar kegagalan moral, melainkan bagian dari drama keselamatan yang misterius.[12] Namun, tanpa bukti eksplisit pertobatan yang menghasilkan pemulihan, posisi teologis arus utama tetap menempatkan Yudas dalam ketidakpastian eskatologis.

Teologi Kehendak Bebas dan Predestinasi: Perspektif Kristologis dan Soteriologis

Dasar Teologis: Predestinasi dalam Tradisi Augustinian dan Reformasi

Konsep predestinasi secara sistematis diperkenalkan oleh Agustinus dari Hippo dalam respons terhadap ajaran Pelagius, menekankan bahwa keselamatan adalah hasil dari kasih karunia Allah, bukan usaha manusia. Dalam Enchiridion, Agustinus menegaskan bahwa “tidak ada yang dapat datang kepada Allah tanpa anugerah yang mendahului kehendaknya.”[13] Doktrin ini menjadi dasar bagi reformator seperti Yohanes Calvin, yang dalam Institutes of the Christian Religion menekankan bahwa Allah secara aktif memilih siapa yang akan diselamatkan (election) dan siapa yang akan dihukum (reprobation), terlepas dari kehendak individu.[14]

Kehendak Bebas dalam Narasi Yudas: Antara Agensi dan Takdir

Dalam konteks naratif Injil, Yudas digambarkan sebagai pelaku aktif yang mengkhianati Yesus. Namun, Lukas 22:22 menyatakan bahwa “Anak Manusia memang akan pergi sesuai dengan yang telah ditentukan,” tetapi celakalah orang yang mengkhianati-Nya. Ini menimbulkan ketegangan antara determinisme ilahi dan tanggung jawab manusia. Seperti dijelaskan oleh Thomas R. Schreiner dalam artikelnya “Does Scripture Teach Prevenient Grace in the Wesleyan Sense?” menuliskan bahwa ada ruang untuk memahami bahwa tindakan Yudas tidak diatur seperti robotik, tetapi diizinkan Allah dalam kerangka rencana ilahi yang tetap mengafirmasi agensinya.[15]

Perspektif Arminianisme dan Synergisme

Berbeda dari pendekatan Calvinistik, Arminianisme yang dikembangkan oleh Jacobus Arminius memberikan ruang lebih luas pada kehendak bebas manusia dalam merespon kasih karunia. Dalam karya Works of Arminius, ia menyatakan bahwa Allah memberi pra-anugerah (prevenient grace) yang memungkinkan manusia untuk memilih percaya. Dalam konteks ini, Yudas memiliki kemungkinan untuk bertobat seperti Petrus, tetapi ia menolak anugerah tersebut.[16] Model ini dikenal sebagai synergisme keselamatan terjadi karena kerja sama antara kehendak manusia dan inisiatif ilahi.

Perspektif Molinisme: Pengetahuan Allah yang Middle (Middle Knowledge)

Luis de Molina, seorang teolog Katolik abad ke-16, mengusulkan teori middle knowledge, bahwa Allah mengetahui semua kemungkinan keputusan yang dapat diambil manusia dalam setiap situasi. Dalam Concordia Molina menegaskan bahwa Allah menggunakan pengetahuan ini untuk mengatur dunia sedemikian rupa agar rencana-Nya tergenapi tanpa melanggar kebebasan manusia.[17] Dalam hal Yudas, Allah tahu bahwa ia akan mengkhianati Yesus, dan menggunakan tindakan itu sebagai bagian dari rencana keselamatan, tanpa memaksanya. Ini adalah pendekatan yang mempertahankan kemahatahuan dan kedaulatan Allah sekaligus kebebasan manusia.

Dimensi Pastoral dan Eksistensial

Pertanyaan seputar predestinasi dan kehendak bebas tidak hanya bersifat dogmatis, tetapi juga memiliki implikasi pastoral. Jika manusia tidak memiliki kebebasan, maka tanggung jawab moral dan pengharapan menjadi tidak relevan. Namun, jika semuanya bergantung pada kehendak manusia, maka keselamatan menjadi tidak pasti. Dalam Evangelical Dictionary of Theology ditegaskan bahwa ketegangan ini harus diterima sebagai misteri iman, yang menuntun manusia kepada penyembahan, bukan keputusasaan.[18] Dalam hal Yudas, tanggung jawabnya tetap nyata, tetapi dimensi predestinasi memberi kerangka untuk memahami bahwa bahkan pengkhianatannya tidak berada di luar kuasa Allah.

Konsekuensi Etika dan Pastoral

Tanggung Jawab Moral dalam Pengkhianatan

Dari perspektif etika Kristen, tindakan Yudas secara eksplisit menyalahi perintah moral dasar kasih dan kesetiaan terhadap Tuhan. Dalam Moral Choices: An Introduction to Ethics karya Scott B. Rae ditegaskan bahwa moralitas Kristen menuntut pertanggungjawaban pribadi atas keputusan yang diambil. Yudas, meski dalam rencana ilahi, tetap bertanggung jawab secara etis karena ia memilih untuk mengkhianati Kristus demi uang. Ini mengimplikasikan bahwa etika Kristen selalu memperhitungkan agensi manusia, bukan sekadar hasil akhir dari tindakan.[19]

Tantangan Pastoral: Dosa Fatal dan Bunuh Diri

Secara pastoral, kasus Yudas membawa beban besar bagi gereja dalam menanggapi umat yang bergumul dengan rasa bersalah ekstrem dan keputusasaan. Bunuh dirinya menjadi titik refleksi atas kegagalan memahami kasih dan pengampunan Allah. Dalam Pastoral Theology in the Classical Tradition menyoroti pentingnya membimbing jemaat untuk memahami bahwa tidak ada dosa yang terlalu besar bagi kasih karunia Tuhan suatu pesan yang tampaknya gagal diterima Yudas, berbeda dengan Petrus yang mengalami pemulihan.[20]

Gereja dan Kategori “Tanpa Harapan”

Gereja dalam sejarahnya sering menjadikan Yudas sebagai ikon “tanpa pengharapan,” tetapi ini harus ditinjau kembali. Teologi pastoral modern mendorong gereja untuk melihat semua orang, bahkan pelaku dosa besar, dalam potensi kasih karunia Allah. Seperti ditulis oleh Henri J.M. Nouwen dalam The Wounded Healer, pelayanan pastoral sejati tidak menghakimi tetapi membuka jalan rekonsiliasi.[21] Apakah Yudas memang tidak bisa diselamatkan, ataukah gereja terlalu cepat menyimpulkan demikian?

  Kesimpulan dan Refleksi Soteriologis

Apakah Yudas Diampuni?

Pertanyaan utama apakah Yudas diampuni tidak dapat dijawab secara eksplisit dari teks Alkitab. Namun, berbagai pandangan teologis mengangkat kemungkinan bahwa pengampunan ilahi tetap terbuka, bahkan bagi Yudas, andaikan ia bertobat sepenuhnya. Dalam Sinners in the Hands of a Loving God oleh Brian Zahnd, dijelaskan bahwa Allah tidak hanya adil tetapi juga penuh belas kasihan, dan pengampunan tidak dibatasi oleh jenis dosa, melainkan oleh keterbukaan hati untuk menerima anugerah.[22]

Soteriologi Inklusif vs Eksklusif

Secara soteriologis, Yudas menjadi titik tolak debat antara soteriologi inklusif (yang mengasumsikan kemungkinan keselamatan lebih luas) dan eksklusif (yang membatasi keselamatan pada syarat-syarat tertentu). Dalam Four Views on Salvation in a Pluralistic World, pandangan inklusif menyatakan bahwa kasih karunia Allah dapat bekerja bahkan dalam momen-momen terdalam kejatuhan manusia, jika masih ada secercah iman. Ini menantang pandangan tradisional yang telah menjatuhkan vonis final atas Yudas.[23]

Makna Salib dan Kemurahan Allah

Akhirnya, refleksi soteriologis atas Yudas membawa kita kembali kepada makna salib itu sendiri: kasih yang tak terbatas dan pengampunan yang radikal. Yudas bisa jadi adalah cermin dari umat manusia yang jatuh, tetapi juga undangan untuk tidak putus asa. Dalam The Cross of Christ oleh John Stott, ditegaskan bahwa salib adalah tempat pengampunan absolut, tetapi harus disambut dengan iman dan pertobatan. Jika Yudas menolak ini, maka tragedinya bukan semata pengkhianatan, tetapi kegagalannya menerima belas kasihan yang sudah disediakan.[24]



[1] Augustine, City of God. Trans. Henry Bettenson. Penguin Classics, 2003. Book XIII, Ch. 7.

[2] John Calvin, Institutes of the Christian Religion. Ed. John T. McNeill, Trans. Ford Lewis Battles. Westminster Press, 1960. Book 3, Ch. 24, Sec. 12

[3] Hans Urs von Balthasar, Dare We Hope “That All Men Be Saved”?. Ignatius Press, 1988. 45–52

[4] Raymond E. Brown, The Death of the Messiah. Vol. 2. New York: Doubleday, 1994. 1335

[5] N.T. Wright, Jesus and the Victory of God. Fortress Press. 1996. 577–579.

[6] Paul Tillich , The Shaking of the Foundations. Charles Scribner's Sons, 1948. 162-165.

[7] Joel B. Green, “Narrative Theology and the Problem of Judas.” Catholic Biblical Quarterly, 52(4) 1990. 597–612.

[8] Donald A. Hagner, Word Biblical Commentary: Matthew 14–28. Thomas Nelson, 1995. 826

[9] Hans Urs von Balthasar, Dare We Hope That All Men Be Saved? Ignatius Press.1988.

[10] Paul Tournier, Guilt and grace: A psychological study. Harper & Row, 1962. 49-55.

[11] Joel B. Green, Scot McKnight, and I. Howard Marshall, eds. Dictionary of Jesus and the Gospels: A Compendium of Contemporary Biblical Scholarship. Vol. 6. InterVarsity Press, 1992. 396.

[12] Jurgen Moltmann, The Crucified God: The Cross of Christ As the Foundation and Criticism of Christian Theology. Fortress Press, 1993. 246–250

[13] Saint Augustine, The Augustine Catechism: The Enchiridion on Faith, Hope, and Charity. Vol. 1. New City Press, 2008. 98-105.

[14] John Calvin, Calvin: Institutes of the Christian Religion (2 Volume Set). Westminster John Knox Press, 1960. Book III, Ch. XXI–XXIV

[15] Thomas R. Schreiner, "Does scripture teach prevenient grace in the Wesleyan sense?." Still Sovereign: Contemporary Perspectives on Election, Foreknowledge, and Grace (1995): 229-246.

[16] Jacobus Arminius, The Works of James Arminius... Vol. 3. Derby, Miller and Orton, 1853. 248–254.

[17] Luis De Molina,  On divine foreknowledge: Part IV of the Concordia. Cornell University Press, 1988. 51–67

[18] Walter A. Elwell, Evangelical Dictionary of Theology, second editions, Baker Academic, 2001.929-934.

[19]  Scott Rae, Moral Choices: An Introduction to Ethics: EditionThird, Zondervan Academic, 2009. 113-117.

[20]  Thomas C. Oden, Pastoral Theology: Essentials of Ministry: EditionFirst Edition (HarperOne, 1983). 239–242.

[21] Henri J.M. Nouwen, The Wounded Healer: Ministry in Contemporary Society: Edition First (Image, 1979), 72–75.

[22]  Brian Zahnd, Sinners in the Hands of a Loving God: The Scandalous Truth of the Very Good News (WaterBrook, 2017), 148–153.

[23] Clark H. Pinnock, Four Views on Salvation in a Pluralistic World (Zondervan Academic, 1996), 89-93.

[24] John Stott, The Cross of Christ : Edition 20th Anniversary (IVP,2006) 223–230.


"Kesadaran Akan Belas kasihan Tuhan" Yakobus 5:11

Ayat Yakobus 5:11 “Sesungguhnya kami menyebut mereka berbahagia, yaitu mereka yang telah bertekun; kamu telah mendengar tentang ketekuna...