✍ Pendahuluan
Pengampunan merupakan inti dari teologi Kristen, terutama dalam
karya keselamatan yang dilakukan oleh Yesus Kristus. Namun, kisah Yudas
Iskariot menimbulkan ketegangan teologis tersendiri. Sebagai murid yang
mengkhianati Yesus dengan mencium-Nya untuk menyerahkan kepada para imam kepala
(Mat. 26:47–50), Yudas bukan hanya menjadi simbol pengkhianatan, tetapi juga
sebuah teka-teki moral dan teologis. Pertanyaan penting muncul: apakah Yesus
mengampuni Yudas, dan apakah pengampunan itu berlaku bagi seseorang yang
dianggap sebagai pengkhianat utama dalam narasi Injil?
Pertanyaan "Apakah Yudas diampuni?" menuntut kajian yang
tidak hanya bersifat naratif, tetapi juga soteriologis dan etika. Penelitian
ini akan mengeksplorasi teks-teks Injil, serta menelaah berbagai pandangan
patristik, reformatoris, dan kontemporer mengenai kemungkinan pengampunan
terhadap Yudas. Fokus utamanya adalah bagaimana pengampunan ilahi bekerja dalam
kasus ekstrem seperti pengkhianatan terhadap Putra Allah.
Tujuan utama tulisan ini adalah untuk menelusuri kemungkinan teologis pengampunan terhadap Yudas Iskariot dan apa maknanya bagi doktrin anugerah, kehendak bebas, serta natur kasih Allah. Kajian ini juga berupaya memperlihatkan bagaimana pemahaman tentang pengampunan dapat berdampak terhadap persepsi kita tentang keadilan, pertobatan, dan penyesalan dalam terang Injil.
✍ Kajian
Literatur & Teologi Historis
Pandangan Tradisional Gereja Awal Para Bapa Gereja seperti
Augustinus cenderung menolak kemungkinan pengampunan bagi Yudas. Dalam De
Civitate Dei, Augustinus menekankan bahwa meskipun Yudas menunjukkan penyesalan
(Mat. 27:3), hal itu tidak setara dengan pertobatan sejati. Ia lebih banyak
dikaitkan dengan murka ilahi ketimbang anugerah.[1]
Perspektif Reformasi John Calvin secara tegas menyatakan bahwa
Yudas adalah “vessel of wrath” yang ditentukan untuk kebinasaan.[2]
Calvin tidak menolak bahwa Yudas merasa bersalah, tetapi menurutnya rasa
bersalah itu adalah “remorse without faith”, sehingga tidak membuahkan
keselamatan. Teologi Katolik Katekismus Gereja Katolik menyatakan bahwa kita
tidak boleh berspekulasi tentang status kekal seseorang tanpa wahyu ilahi yang
jelas (KGK 1037). Dalam hal ini, Gereja Katolik membuka kemungkinan pengampunan
universal, tetapi menyerahkan status Yudas kepada misteri kehendak Allah.
Teologi Kontemporer Sebagian teolog modern seperti Hans Urs von
Balthasar dan Karl Rahner menyarankan bahwa cinta Allah melampaui dosa terburuk
sekalipun. Von Balthasar secara eksplisit tidak mengklaim bahwa Yudas diampuni,
tetapi ia mempertanyakan pemahaman tentang neraka kekal yang terlalu
deterministik, dalam artian Pandangan
bahwa tidak satu pun harus dinyatakan secara pasti binasa [3]
✍ Eksplorasi
Naratif Pengampunan dalam Injil: Yesus kepada Petrus vs Yudas
Dalam Injil, dua tokoh murid Yesus yang menonjol dalam narasi
pengkhianatan dan pengampunan adalah Petrus dan Yudas Iskariot. Keduanya
melakukan pelanggaran serius terhadap Yesus: Yudas mengkhianati-Nya kepada para
imam kepala (Matius 26:14–16), sementara Petrus menyangkali-Nya tiga kali
(Matius 26:69–75). Namun, nasib keduanya sangat berbeda: Petrus dipulihkan,
sementara Yudas berakhir dalam keputusasaan dan bunuh diri. Kontras ini telah
menjadi fokus refleksi teologis dan eksistensial dalam sejarah Kekristenan,
menyangkut pemahaman tentang pengampunan, pertobatan, dan anugerah.
a) Pengampunan
dan Pemulihan Petrus
Petrus mengalami kegagalan yang mendalam, tetapi Injil Yohanes
mencatat pemulihannya secara indah dalam Yohanes 21:15–19. Di pantai Danau
Tiberias, Yesus menanyakan tiga kali kepada Petrus: "Apakah engkau
mengasihi Aku?"—mencerminkan tiga kali penyangkalan Petrus. Pertanyaan ini
bukan hanya retoris, melainkan tindakan restoratif, simbol dari pengampunan dan
pemanggilan ulang Petrus untuk menggembalakan umat. Seperti dikemukakan oleh
Raymond E. Brown dalam The Death of the Messiah narasi ini menunjukkan “pemberian
kembali martabat dan otoritas rohani setelah kejatuhan.”[4]
Pemulihan Petrus mencerminkan dinamika kasih karunia yang aktif bekerja dalam
kehidupan murid.
b) Yudas
dan Tragedi Pengkhianatan
Berbeda dengan Petrus, Yudas tidak menerima adegan pemulihan dalam
narasi Injil. Dalam Matius 27:3–5, Yudas menunjukkan penyesalan ("menyesal
dan mengembalikan uang perak"), tetapi ia tidak mendekat kepada Yesus atau
komunitas murid untuk mencari rekonsiliasi. Banyak teolog, seperti N.T. Wright
dalam Jesus and the Victory of God menyoroti bahwa Yudas terjebak dalam rasa
bersalah dan isolasi yang destruktif, bukan pertobatan sejati (metanoia). Yudas
memilih untuk memisahkan diri dari komunitas dan akhirnya bunuh diri, tindakan
yang dipandang sebagai tragis dalam kerangka narasi Injil yang menawarkan
pengampunan universal.[5]
c) Dimensi
Teologis: Anugerah, Pertobatan, dan Komunitas
Secara teologis, narasi pengampunan terhadap Petrus dan penolakan
Yudas mengilustrasikan pentingnya respons terhadap kasih karunia. Pengampunan
tersedia bagi semua, tetapi harus diterima dengan kerendahan hati dan
keterbukaan terhadap komunitas iman. Paul Tillich dalam The Shaking of the
Foundations menulis, "Pengampunan adalah jawaban Tuhan terhadap kejatuhan
manusia, dan penerimaannya membutuhkan keberanian untuk percaya bahwa kita
dapat diampuni."[6]
Petrus membuka diri terhadap pengalaman kasih Yesus, sedangkan Yudas menutup
diri dalam penyesalan tanpa pengharapan.
d) Kesimpulan:
Kontras Eksistensial dan Naratif
Naratif Petrus dan Yudas bukan hanya kisah masa lalu, tetapi gambaran eksistensial tentang pilihan manusia antara menerima pengampunan atau terjebak dalam rasa bersalah. Dalam kerangka Injil, Yesus menawarkan pengampunan bahkan kepada pengkhianat, namun respons manusia menentukan hasil akhir dari kisah tersebut. Sebagaimana ditunjukkan dalam artikel oleh Joel B. Green, narasi ini mengajak pembaca untuk tidak hanya mengutuk Yudas, tetapi merefleksikan bagaimana kita pun menghadapi kegagalan dan pengampunan dalam hidup iman.[7]
✍ Pertobatan
dan Rasa Bersalah Yudas: Kajian Naratif dan Teologikal
a. Dimensi
Naratif: Penyesalan Yudas dalam Injil Matius
Dalam Matius 27:3–5, Yudas dikisahkan "menyesal" (Yunani:
metamelētheis) setelah menyadari bahwa Yesus telah dijatuhi hukuman mati. Ia
mengembalikan tiga puluh uang perak dan berkata, "Aku telah berdosa karena
menyerahkan darah orang yang tak bersalah." Namun, penyesalan ini berbeda
secara semantik dengan pertobatan sejati (metanoia) yang kerap digunakan untuk
menggambarkan perubahan hati dalam Injil. Sebagaimana dikemukakan oleh Donald
A. Hagner, istilah metamelomai lebih menekankan pada kesedihan emosional atau
penyesalan atas akibat, bukan perubahan eksistensial dalam arah hidup.[8]
b. Apakah
Yudas Bertobat? Perdebatan Teologikal
Pertanyaan tentang apakah Yudas benar-benar bertobat masih menjadi
topik debat dalam teologi Kristen. Beberapa teolog, seperti Hans Urs von
Balthasar dalam Dare We Hope That All Men Be Saved? (1988), menyatakan bahwa
meskipun Yudas menyesal, ia tidak berpaling kembali kepada Yesus, sehingga
tidak mengalami pemulihan seperti Petrus. Yudas bertindak sebagai hakim atas
dirinya sendiri dan memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Dalam tradisi Katolik
dan Ortodoks Timur, tindakan bunuh diri ini menjadi tanda bahwa penyesalan
Yudas tetap bersifat tertutup dan tidak menghasilkan pembaruan relasional
dengan Allah.[9]
c. Rasa
Bersalah vs Pertobatan: Distingsi Antropologis
Secara antropologis dan psikologis, rasa bersalah dapat mengarah
pada dua arah: rekonsiliasi atau kehancuran diri. Paul Tournier menegaskan
bahwa rasa bersalah yang tidak dikelola dalam terang kasih karunia akan
mendorong seseorang pada keputusasaan. Yudas, dalam konteks ini, adalah figur
tragis yang gagal menavigasi rasa bersalahnya melalui iman atau komunitas.[10]
Sementara Petrus menangis dan tetap dalam persekutuan, Yudas menjauhkan diri
dan memilih isolasi.
d. Kesadaran
Moral Yudas dan Dimensi Etisnya
Narasi Yudas justru menunjukkan bahwa ia memiliki kesadaran moral dan etika terhadap dosanya. Ia tidak bersikap acuh atau membenarkan tindakannya. Namun, tanpa tindakan untuk kembali kepada Kristus atau komunitas para murid, penyesalan itu tidak menjadi jalan menuju keselamatan. Hal ini diperkuat oleh refleksi dalam Dictionary of Jesus and the Gospels (IVP, 1992, hlm. 396), yang menyatakan bahwa “Yudas menjadi simbol seseorang yang melihat akibat dosanya namun tidak melihat harapan dalam belas kasih Allah.”[11] Keputusannya untuk bunuh diri bukan hanya tindakan ekstrem, melainkan simbol keputusasaan teologis.
e. Refleksi
Teologis: Apakah Masih Ada Harapan bagi Yudas?
Beberapa pemikir kontemporer mencoba mengevaluasi kembali narasi Yudas dengan nada yang lebih penuh belas kasih. Jurgen Moltmann dalam The Crucified God menulis bahwa “Yudas menjadi bagian dari penderitaan Yesus karena ia mengantar jalan salib terjadi.” Dalam pengertian ini, penderitaan dan rasa bersalah Yudas bukan sekadar kegagalan moral, melainkan bagian dari drama keselamatan yang misterius.[12] Namun, tanpa bukti eksplisit pertobatan yang menghasilkan pemulihan, posisi teologis arus utama tetap menempatkan Yudas dalam ketidakpastian eskatologis.
✍ Teologi Kehendak Bebas dan Predestinasi:
Perspektif Kristologis dan Soteriologis
Dasar
Teologis: Predestinasi dalam Tradisi Augustinian dan Reformasi
Konsep predestinasi secara sistematis diperkenalkan oleh Agustinus dari Hippo dalam respons terhadap ajaran Pelagius, menekankan bahwa keselamatan adalah hasil dari kasih karunia Allah, bukan usaha manusia. Dalam Enchiridion, Agustinus menegaskan bahwa “tidak ada yang dapat datang kepada Allah tanpa anugerah yang mendahului kehendaknya.”[13] Doktrin ini menjadi dasar bagi reformator seperti Yohanes Calvin, yang dalam Institutes of the Christian Religion menekankan bahwa Allah secara aktif memilih siapa yang akan diselamatkan (election) dan siapa yang akan dihukum (reprobation), terlepas dari kehendak individu.[14]
Kehendak Bebas dalam Narasi Yudas: Antara Agensi dan Takdir
Dalam konteks naratif Injil, Yudas digambarkan sebagai pelaku aktif yang mengkhianati Yesus. Namun, Lukas 22:22 menyatakan bahwa “Anak Manusia memang akan pergi sesuai dengan yang telah ditentukan,” tetapi celakalah orang yang mengkhianati-Nya. Ini menimbulkan ketegangan antara determinisme ilahi dan tanggung jawab manusia. Seperti dijelaskan oleh Thomas R. Schreiner dalam artikelnya “Does Scripture Teach Prevenient Grace in the Wesleyan Sense?” menuliskan bahwa ada ruang untuk memahami bahwa tindakan Yudas tidak diatur seperti robotik, tetapi diizinkan Allah dalam kerangka rencana ilahi yang tetap mengafirmasi agensinya.[15]
Perspektif
Arminianisme dan Synergisme
Berbeda dari pendekatan Calvinistik, Arminianisme yang dikembangkan oleh Jacobus Arminius memberikan ruang lebih luas pada kehendak bebas manusia dalam merespon kasih karunia. Dalam karya Works of Arminius, ia menyatakan bahwa Allah memberi pra-anugerah (prevenient grace) yang memungkinkan manusia untuk memilih percaya. Dalam konteks ini, Yudas memiliki kemungkinan untuk bertobat seperti Petrus, tetapi ia menolak anugerah tersebut.[16] Model ini dikenal sebagai synergisme keselamatan terjadi karena kerja sama antara kehendak manusia dan inisiatif ilahi.
Perspektif
Molinisme: Pengetahuan Allah yang Middle (Middle Knowledge)
Luis de Molina, seorang teolog Katolik abad ke-16, mengusulkan teori middle knowledge, bahwa Allah mengetahui semua kemungkinan keputusan yang dapat diambil manusia dalam setiap situasi. Dalam Concordia Molina menegaskan bahwa Allah menggunakan pengetahuan ini untuk mengatur dunia sedemikian rupa agar rencana-Nya tergenapi tanpa melanggar kebebasan manusia.[17] Dalam hal Yudas, Allah tahu bahwa ia akan mengkhianati Yesus, dan menggunakan tindakan itu sebagai bagian dari rencana keselamatan, tanpa memaksanya. Ini adalah pendekatan yang mempertahankan kemahatahuan dan kedaulatan Allah sekaligus kebebasan manusia.
Dimensi
Pastoral dan Eksistensial
Pertanyaan seputar predestinasi dan kehendak bebas tidak hanya bersifat dogmatis, tetapi juga memiliki implikasi pastoral. Jika manusia tidak memiliki kebebasan, maka tanggung jawab moral dan pengharapan menjadi tidak relevan. Namun, jika semuanya bergantung pada kehendak manusia, maka keselamatan menjadi tidak pasti. Dalam Evangelical Dictionary of Theology ditegaskan bahwa ketegangan ini harus diterima sebagai misteri iman, yang menuntun manusia kepada penyembahan, bukan keputusasaan.[18] Dalam hal Yudas, tanggung jawabnya tetap nyata, tetapi dimensi predestinasi memberi kerangka untuk memahami bahwa bahkan pengkhianatannya tidak berada di luar kuasa Allah.
✍ Konsekuensi Etika dan Pastoral
Tanggung
Jawab Moral dalam Pengkhianatan
Dari perspektif etika Kristen, tindakan Yudas secara eksplisit menyalahi perintah moral dasar kasih dan kesetiaan terhadap Tuhan. Dalam Moral Choices: An Introduction to Ethics karya Scott B. Rae ditegaskan bahwa moralitas Kristen menuntut pertanggungjawaban pribadi atas keputusan yang diambil. Yudas, meski dalam rencana ilahi, tetap bertanggung jawab secara etis karena ia memilih untuk mengkhianati Kristus demi uang. Ini mengimplikasikan bahwa etika Kristen selalu memperhitungkan agensi manusia, bukan sekadar hasil akhir dari tindakan.[19]
Tantangan
Pastoral: Dosa Fatal dan Bunuh Diri
Secara pastoral, kasus Yudas membawa beban besar bagi gereja dalam menanggapi umat yang bergumul dengan rasa bersalah ekstrem dan keputusasaan. Bunuh dirinya menjadi titik refleksi atas kegagalan memahami kasih dan pengampunan Allah. Dalam Pastoral Theology in the Classical Tradition menyoroti pentingnya membimbing jemaat untuk memahami bahwa tidak ada dosa yang terlalu besar bagi kasih karunia Tuhan suatu pesan yang tampaknya gagal diterima Yudas, berbeda dengan Petrus yang mengalami pemulihan.[20]
Gereja
dan Kategori “Tanpa Harapan”
Gereja dalam sejarahnya sering menjadikan Yudas sebagai ikon “tanpa pengharapan,” tetapi ini harus ditinjau kembali. Teologi pastoral modern mendorong gereja untuk melihat semua orang, bahkan pelaku dosa besar, dalam potensi kasih karunia Allah. Seperti ditulis oleh Henri J.M. Nouwen dalam The Wounded Healer, pelayanan pastoral sejati tidak menghakimi tetapi membuka jalan rekonsiliasi.[21] Apakah Yudas memang tidak bisa diselamatkan, ataukah gereja terlalu cepat menyimpulkan demikian?
✍ Kesimpulan
dan Refleksi Soteriologis
Apakah
Yudas Diampuni?
Pertanyaan utama apakah Yudas diampuni tidak dapat dijawab secara eksplisit dari teks Alkitab. Namun, berbagai pandangan teologis mengangkat kemungkinan bahwa pengampunan ilahi tetap terbuka, bahkan bagi Yudas, andaikan ia bertobat sepenuhnya. Dalam Sinners in the Hands of a Loving God oleh Brian Zahnd, dijelaskan bahwa Allah tidak hanya adil tetapi juga penuh belas kasihan, dan pengampunan tidak dibatasi oleh jenis dosa, melainkan oleh keterbukaan hati untuk menerima anugerah.[22]
Soteriologi
Inklusif vs Eksklusif
Secara soteriologis, Yudas menjadi titik tolak debat antara soteriologi inklusif (yang mengasumsikan kemungkinan keselamatan lebih luas) dan eksklusif (yang membatasi keselamatan pada syarat-syarat tertentu). Dalam Four Views on Salvation in a Pluralistic World, pandangan inklusif menyatakan bahwa kasih karunia Allah dapat bekerja bahkan dalam momen-momen terdalam kejatuhan manusia, jika masih ada secercah iman. Ini menantang pandangan tradisional yang telah menjatuhkan vonis final atas Yudas.[23]
Makna
Salib dan Kemurahan Allah
Akhirnya, refleksi soteriologis atas Yudas membawa kita kembali
kepada makna salib itu sendiri: kasih yang tak terbatas dan pengampunan yang
radikal. Yudas bisa jadi adalah cermin dari umat manusia yang jatuh, tetapi
juga undangan untuk tidak putus asa. Dalam The Cross of Christ oleh John Stott,
ditegaskan bahwa salib adalah tempat pengampunan absolut, tetapi harus disambut
dengan iman dan pertobatan. Jika Yudas menolak ini, maka tragedinya bukan
semata pengkhianatan, tetapi kegagalannya menerima belas kasihan yang sudah
disediakan.[24]
[1] Augustine, City of God.
Trans. Henry Bettenson. Penguin Classics, 2003. Book XIII, Ch. 7.
[2] John Calvin, Institutes of
the Christian Religion. Ed. John T. McNeill, Trans. Ford Lewis Battles.
Westminster Press, 1960. Book 3, Ch. 24, Sec. 12
[3] Hans Urs von Balthasar, Dare
We Hope “That All Men Be Saved”?. Ignatius Press, 1988. 45–52
[4] Raymond E. Brown, The Death
of the Messiah. Vol. 2. New York: Doubleday, 1994. 1335
[5] N.T. Wright, Jesus and the
Victory of God. Fortress Press. 1996. 577–579.
[6] Paul Tillich , The Shaking
of the Foundations. Charles Scribner's Sons, 1948. 162-165.
[7] Joel B. Green, “Narrative
Theology and the Problem of Judas.” Catholic Biblical Quarterly, 52(4) 1990.
597–612.
[8] Donald A. Hagner, Word
Biblical Commentary: Matthew 14–28. Thomas Nelson, 1995. 826
[9] Hans Urs von Balthasar, Dare
We Hope That All Men Be Saved? Ignatius Press.1988.
[10] Paul Tournier, Guilt and
grace: A psychological study. Harper & Row, 1962. 49-55.
[11] Joel B. Green, Scot
McKnight, and I. Howard Marshall, eds. Dictionary of Jesus and the Gospels: A
Compendium of Contemporary Biblical Scholarship. Vol. 6. InterVarsity Press,
1992. 396.
[12] Jurgen Moltmann, The
Crucified God: The Cross of Christ As the Foundation and Criticism of Christian
Theology. Fortress Press, 1993. 246–250
[13] Saint Augustine, The
Augustine Catechism: The Enchiridion on Faith, Hope, and Charity. Vol. 1. New
City Press, 2008. 98-105.
[14] John Calvin, Calvin:
Institutes of the Christian Religion (2 Volume Set). Westminster John Knox
Press, 1960. Book III, Ch. XXI–XXIV
[15] Thomas R. Schreiner,
"Does scripture teach prevenient grace in the Wesleyan sense?." Still
Sovereign: Contemporary Perspectives on Election, Foreknowledge, and Grace
(1995): 229-246.
[16] Jacobus Arminius, The Works
of James Arminius... Vol. 3. Derby, Miller and Orton, 1853. 248–254.
[17] Luis De Molina, On divine foreknowledge: Part IV of the
Concordia. Cornell University Press, 1988. 51–67
[18] Walter A. Elwell,
Evangelical Dictionary of Theology, second editions, Baker Academic,
2001.929-934.
[19] Scott Rae, Moral Choices: An Introduction to
Ethics: EditionThird, Zondervan Academic, 2009. 113-117.
[20] Thomas C. Oden, Pastoral Theology: Essentials
of Ministry: EditionFirst Edition (HarperOne, 1983). 239–242.
[21] Henri J.M. Nouwen, The
Wounded Healer: Ministry in Contemporary Society: Edition First (Image, 1979),
72–75.
[22] Brian Zahnd, Sinners in the Hands of a Loving
God: The Scandalous Truth of the Very Good News (WaterBrook, 2017), 148–153.
[23] Clark H. Pinnock, Four Views
on Salvation in a Pluralistic World (Zondervan Academic, 1996), 89-93.
[24] John Stott, The Cross of
Christ : Edition 20th Anniversary (IVP,2006) 223–230.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar