"Credimus Ergo Cogitamus": Peran Yudas dalam Narasi Penebusan: Sebuah Analisis Kristologis dan Eskatologis

Rabu, 16 April 2025

Peran Yudas dalam Narasi Penebusan: Sebuah Analisis Kristologis dan Eskatologis



Artikel ini menganalisis posisi Yudas Iskariot dalam narasi penebusan Yesus Kristus dengan pendekatan Kristologis dan Eskatologis. Kajian ini bertujuan menggali apakah peran Yudas bersifat instrumental dalam rencana keselamatan Allah atau murni sebagai akibat dari kehendak bebas manusia. Analisis dilakukan melalui studi literatur teologi klasik, eksposisi ayat-ayat kunci, dan sintesis pemikiran Bapa-Bapa Gereja serta teolog kontemporer.

 

Pendahuluan

Topik mengenai pengkhianatan Yudas Iskariot dan hubungannya dengan kemahatahuan Yesus serta kehendak bebas manusia merupakan isu teologis yang telah banyak diteliti dalam teologi Kristen. Dalam konteks ini, ada ketegangan antara doktrin predestinasi, kehendak bebas, dan rencana keselamatan Allah yang menempatkan peran Yudas dalam posisi yang sangat kompleks sebagai bagian dari rencana ilahi, sekaligus agen moral yang bertanggung jawab atas tindakannya. Mengapa Tuhan Yesus memilih Yudas Iskariot sebagai murid dan bendahara, padahal Ia Mahatahu dan pasti tahu Yudas akan mengkhianati dan bahkan memanipulasi uang kas?

Dalam Yohanes 6:70–71, Yesus menyebut salah satu murid-Nya, Yudas, sebagai "iblis," yang menunjukkan kemahatahuan Yesus akan masa depan Yudas, termasuk pengkhianatannya. Teologi klasik memaknai hal ini sebagai penegasan bahwa Yesus mengetahui peran Yudas dalam rencana keselamatan Allah, di mana pengkhianatan Yudas harus terjadi untuk menggenapi nubuat-nubuat Mesianik seperti yang tercantum dalam Mazmur 41:10 dan Zakharia 11:12-13.

Beberapa teolog, seperti Augustinus, memandang tindakan Yudas sebagai bagian dari “divine necessity” atau keharusan ilahi agar karya salib dapat terlaksana, namun hal ini tidak menghapus tanggung jawab moral Yudas. Allah dapat memakai kejahatan manusia untuk mencapai tujuan kebaikan-Nya tanpa menjadi penyebab langsung kejahatan tersebut. Dalam konteks teologi kehendak bebas dan determinisme, ajaran Arminianisme menegaskan bahwa manusia memiliki kehendak bebas sejati, sehingga meskipun Yesus mengetahui pengkhianatan Yudas, Yudas tetap bertanggung jawab karena membuat keputusan secara bebas. Sebaliknya, pandangan Kalvinis menekankan bahwa Yudas sudah ditentukan sejak awal untuk peran tersebut sebagai bagian dari rencana predestinasi Allah.

Narasi Yudas dalam Injil Yohanes berfungsi secara teologis untuk mengontraskan antara terang dan gelap, kasih dan pengkhianatan, di mana Yudas diposisikan sebagai simbol kegelapan yang menolak kasih Kristus meskipun berada dalam lingkaran pelayanan Yesus secara langsung.[1] Simbolisme iblis dan agen kegelapan juga muncul dalam Yohanes 13:27, yang menyebutkan bahwa “Setan masuk ke dalam Yudas” setelah menerima roti dari Yesus, menegaskan bahwa pengkhianatan Yudas melibatkan dimensi spiritual dan kosmik dalam pertarungan antara kuasa terang dan kegelapan. Namun, Yudas tetap dianggap sebagai pelaku aktif, bukan korban pasif dari pengaruh iblis.

Tanggung jawab moral Yudas ditegaskan dalam narasi Injil, di mana walaupun tindakannya digunakan dalam rencana keselamatan, ia tetap menerima kecaman dan “celaka” dari Yesus, sebagaimana tercermin dalam Matius 26:24. Hal ini menunjukkan penekanan etis bahwa pengkhianatan adalah kejahatan, meskipun Allah dapat memakainya untuk tujuan-Nya.[2] Perspektif teologi simpatik muncul dalam Injil Yudas, sebuah teks non-kanonik yang menggambarkan Yudas sebagai murid yang taat dan mengkhianati Yesus atas permintaan-Nya sendiri, membuka diskusi tentang kompleksitas peran Yudas dan bagaimana gereja awal menafsirkan identitasnya, meskipun pandangan ini ditolak oleh ortodoksi Kristen.[3]

Dari sudut pandang sosio-politik, pengkhianatan Yudas dapat ditafsirkan sebagai respons terhadap ketidaksesuaian antara harapan politis Mesias dan kenyataan pelayanan Yesus, di mana Yudas mungkin merasa kecewa karena Yesus tidak memenuhi harapan revolusioner yang ia dan banyak orang lain dambakan.[4] Selain itu, dalam Yohanes 13:18-30, terlihat bahwa Yesus mengalami kepedihan emosional akibat pengkhianatan Yudas, yang menunjukkan bahwa meskipun Yesus mengetahui apa yang akan terjadi, hubungan personal antara Guru dan murid tetap memiliki makna mendalam dan mempertegas kemanusiaan Yesus yang merasakan duka atas pengkhianatan tersebut. Akhir tragis Yudas, yaitu bunuh diri sebagaimana dicatat dalam Matius 27:5, ditafsirkan oleh gereja mula-mula sebagai penyesalan yang mendalam namun tanpa pertobatan sejati. Augustinus menyebutnya sebagai contoh penyesalan tanpa harapan, dan teologi Kristen umumnya melihat hal ini sebagai bukti kehendak bebas manusia yang digunakan untuk menolak rahmat Allah, bukan sebagai korban nasib semata.

 

Kristologi: Peran Yudas dalam Jalan Salib

Peran Yudas Iskariot dalam jalan salib Yesus merupakan salah satu aspek penting dalam studi kristologi yang menghubungkan nubuat, penderitaan Mesias, dan pengetahuan ilahi Allah. Pertama, nubuat pengkhianatan Yudas sudah tercermin dalam Mazmur 41:10, yang dikutip secara eksplisit oleh Yesus dalam Yohanes 13:18. Dalam ayat ini, Yesus menyatakan bahwa orang yang makan bersama-Nya akan mengangkat tumit terhadap-Nya, sebuah metafora yang menggambarkan pengkhianatan dari seseorang yang sangat dekat. Kutipan ini menegaskan bahwa pengkhianatan Yudas bukanlah kejadian acak, melainkan bagian dari rencana ilahi yang telah dinubuatkan dalam Kitab Suci Perjanjian Lama. Hal ini menunjukkan kesinambungan antara nubuat Mesianik dan penggenapannya dalam peristiwa jalan salib.

Dalam konteks teologi penderitaan, Anselmus dari Canterbury memberikan kontribusi penting melalui karyanya Cur Deus Homo (Mengapa Allah Menjadi Manusia). Anselmus menegaskan bahwa keselamatan manusia hanya dapat dicapai melalui penderitaan dan pengorbanan yang sempurna dari Mesias.[5] Dalam kerangka ini, peran Yudas sebagai pengkhianat bukan hanya sebagai pelaku kejahatan, tetapi juga sebagai agen yang mempercepat klimaks penderitaan Kristus. Dengan demikian, pengkhianatan Yudas menjadi bagian integral dari proses penebusan, di mana penderitaan Yesus mencapai puncaknya melalui penangkapan dan penyaliban-Nya. Anselmus menekankan bahwa tanpa penderitaan yang sempurna ini, keselamatan tidak mungkin terwujud.

Selanjutnya, dalam aspek pengetahuan ilahi, Agustinus dari Hippo memberikan pandangan teologis yang mendalam dalam Confessiones (Pengakuan), khususnya Buku VII, paragraf 13. Agustinus menulis bahwa tidak ada kejahatan yang terjadi di luar pengetahuan Allah, dan Allah mampu membalikkan setiap kejahatan menjadi kebaikan.[6] Dalam hal ini, pengkhianatan Yudas, meskipun merupakan tindakan jahat, tidak lepas dari pengawasan dan rencana Allah yang mahatahu. Allah menggunakan tindakan jahat tersebut sebagai sarana untuk mencapai tujuan keselamatan yang lebih besar, yaitu penebusan manusia melalui salib Kristus. Pandangan ini menegaskan kemahatahuan dan kedaulatan Allah dalam sejarah keselamatan.

Dari perspektif kristologi, peran Yudas dalam jalan salib menegaskan dualitas sifat Yesus sebagai Mesias yang mengetahui segala sesuatu dan sekaligus mengalami penderitaan manusiawi. Yesus sadar akan pengkhianatan yang akan dilakukan Yudas, namun tetap memilih untuk melanjutkan misi-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa penderitaan dan kematian-Nya bukanlah akibat ketidaktahuan atau kegagalan, melainkan bagian dari rencana keselamatan yang telah ditetapkan oleh Allah sejak semula. Dengan demikian, jalan salib menjadi pusat dari karya penebusan yang melibatkan unsur kemahatahuan ilahi dan pengalaman manusiawi Yesus.

Dalam kajian akademis, hubungan antara nubuat Mazmur 41:10 dan penggenapannya dalam Yohanes 13:18 sering dianalisis sebagai contoh hermeneutik nubuat Mesianik yang terwujud dalam Perjanjian Baru.[7] Para sarjana Alkitab menekankan pentingnya konteks historis dan teologis dalam memahami bagaimana teks Perjanjian Lama diinterpretasikan ulang dalam narasi Injil. Hal ini memperlihatkan bahwa pengkhianatan Yudas bukan hanya peristiwa historis, tetapi juga simbolik dalam rencana keselamatan yang lebih luas.

Selain itu, teologi penderitaan yang dikembangkan oleh Anselmus membuka diskusi tentang makna penderitaan Kristus dalam konteks penebusan. Anselmus menggunakan argumen rasional dan filosofis untuk menjelaskan mengapa Allah harus menjadi manusia dan menderita demi menebus dosa manusia. Konsep ini menjadi dasar bagi banyak teologi penebusan selanjutnya, yang melihat penderitaan Yesus sebagai syarat mutlak untuk menghapus dosa dan memulihkan hubungan manusia dengan Allah.

Agustinus, dengan pendekatan filosofis dan teologisnya, menegaskan bahwa Allah tidak hanya mengetahui segala sesuatu, tetapi juga mengendalikan sejarah keselamatan dengan cara yang melampaui pemahaman manusia. Dalam Confessiones, ia menulis tentang bagaimana Allah mengizinkan kejahatan terjadi untuk tujuan yang lebih besar, yaitu kebaikan yang abadi. Ini memberikan landasan teologis bagi pemahaman bahwa pengkhianatan Yudas, meskipun jahat, tetap berada dalam kendali Allah dan berkontribusi pada rencana keselamatan.

Dalam konteks kristologi kontemporer, peran Yudas juga menjadi bahan refleksi tentang hubungan antara kehendak bebas manusia dan kedaulatan ilahi. Para teolog modern sering membahas bagaimana tindakan jahat manusia dapat berinteraksi dengan rencana Allah tanpa menghilangkan tanggung jawab moral individu. Hal ini memperkaya pemahaman tentang penderitaan Kristus sebagai pengalaman yang melibatkan interaksi kompleks antara kehendak manusia dan rencana ilahi. Akhirnya, studi tentang peran Yudas dalam jalan salib mengajak kita untuk merenungkan misteri keselamatan yang melibatkan penderitaan, pengkhianatan, dan pengetahuan ilahi. Melalui nubuat, penderitaan, dan kemahatahuan Allah, jalan salib menjadi pusat dari karya penebusan yang mengubah sejarah manusia. Kajian ini tidak hanya memperdalam pemahaman teologis, tetapi juga mengajak umat beriman untuk menghayati makna penderitaan dan pengorbanan Kristus dalam kehidupan mereka.

Eskatologi: Kejatuhan Yudas dan Konsekuensi Kekal

Kejatuhan Yudas Iskariot dan akibat kekalnya merupakan tema penting dalam eskatologi Kristen, yang menghubungkan aspek moral, teologis, dan keselamatan kekal. Yudas, setelah menyadari kesalahannya dalam mengkhianati Yesus, merasa menyesal dan mengembalikan uang perak yang diterimanya, namun akhirnya memilih untuk bunuh diri. Keputusannya ini menandai keterputusannya dari rahmat Allah, berbeda dengan Petrus yang meski jatuh dalam dosa, bertobat dan kembali kepada Yesus. Dalam teologi, pertobatan Yudas dipandang sebagai penyesalan duniawi yang tidak mengarah pada perubahan hati yang sejati, sehingga ia menjadi simbol bagi mereka yang menolak keselamatan dan akhirnya berakhir dalam kebinasaan.[8]

Perbedaan antara Yudas dan Petrus menjadi refleksi mendalam dalam eskatologi Kristen. Keduanya mengalami kejatuhan moral, namun reaksi mereka sangat berbeda. Petrus, meskipun menyangkal Yesus tiga kali, bertobat dengan tulus dan kemudian diangkat sebagai pemimpin gereja mula-mula. Sebaliknya, Yudas menolak pengampunan dan memilih jalan kehancuran. Hal ini menegaskan bahwa pilihan manusia memiliki dampak kekal dalam rencana keselamatan Allah. Eskatologi Kristen menekankan bahwa meskipun Allah memegang kendali atas sejarah keselamatan, manusia tetap memiliki tanggung jawab moral dalam keputusan mereka yang menentukan nasib kekal mereka.

Dalam Yohanes 17:12, Yesus menyebut Yudas sebagai "anak kebinasaan," yang mengarah pada pemenuhan nubuat dan rencana ilahi. Ini sejalan dengan Roma 9:22–23 yang menyebutkan konsep "bejana murka untuk kebinasaan," di mana Allah menggunakan sebagian orang untuk tujuan penghakiman. Namun, banyak teolog modern, seperti Gerhard Lohse, menolak interpretasi determinisme mutlak terhadap ayat-ayat ini dan lebih menekankan bahwa teks-teks tersebut menunjukkan bagaimana Allah menggunakan kehendak bebas manusia dalam rencana-Nya, bukan sebagai penetapan mutlak.[9]

Secara teologis, kejatuhan Yudas menunjukkan ketegangan antara kedaulatan Allah dan kehendak bebas manusia. Eskatologi Kristen mengajarkan bahwa Allah mengetahui dan mengizinkan segala hal terjadi, termasuk kejatuhan Yudas, tetapi tidak memaksa manusia untuk berbuat jahat. Yudas bertanggung jawab atas pilihannya sendiri, dan penolakannya terhadap rahmat Allah membawa konsekuensi kekal berupa kebinasaan. Hal ini menegaskan bahwa keselamatan adalah anugerah yang harus diterima dengan sukarela oleh individu. Dalam kajian akademis, perbandingan antara Yudas dan Petrus sering digunakan untuk menggambarkan dua kemungkinan akhir bagi manusia: pertobatan dan pengampunan versus penolakan dan kebinasaan. Narasi Injil menempatkan kedua tokoh ini sebagai simbol dari pilihan moral yang menentukan nasib kekal manusia, dengan Petrus menjadi contoh pertobatan dan pemulihan, sementara Yudas menjadi peringatan akan bahaya penolakan terhadap rahmat Allah.

Selain itu, konsep “anak kebinasaan” dalam Yohanes 17:12 dan “bejana murka” dalam Roma 9 menimbulkan perdebatan teologis mengenai predestinasi dan kehendak bebas. Lohse dan teolog lain menegaskan bahwa ayat-ayat ini harus dipahami dalam konteks keseluruhan Alkitab yang menekankan tanggung jawab moral manusia. Allah menggunakan pilihan manusia, bahkan yang jahat, untuk mewujudkan rencana-Nya tanpa menghilangkan kebebasan manusia untuk membuat keputusan. Dalam eskatologi, kejatuhan Yudas mengingatkan kita akan realitas penghakiman kekal. Gereja mula-mula dan teologi Kristen tradisional melihat kematian Yudas sebagai contoh tragis dari seseorang yang menolak rahmat dan berakhir dalam kebinasaan. Ini menjadi peringatan bagi umat beriman untuk menjaga iman dan menerima pengampunan Allah dengan sungguh-sungguh, agar tidak mengalami nasib yang serupa. Kajian teologis juga menunjukkan bahwa meskipun Yudas mengalami kejatuhan, narasi Injil tidak mengabaikan kasih dan keadilan Allah. Allah memberikan kesempatan untuk bertobat, seperti yang terlihat pada Petrus, namun juga menghormati keputusan manusia yang menolak rahmat-Nya. Hal ini mencerminkan keseimbangan antara kasih Allah dan keadilan-Nya dalam eskatologi Kristen.

Sintesis Teologis dan Implikasi Pastoral

a.    Pengkhianatan dalam Rencana Ilahi

Yudas Iskariot, yang dikenal sebagai pengkhianat dalam kisah kehidupan Yesus, memegang peranan penting dalam pemahaman teologis mengenai pengkhianatan dan dosa. Yudas memang pelaku dosa besar, menyerahkan Yesus dengan harga tiga puluh keping perak, namun dalam pandangan teologis, dosa ini digunakan Allah untuk tujuan yang lebih tinggi, yaitu penebusan umat manusia melalui kematian Yesus di salib. Dalam hal ini, meskipun Yudas secara pribadi bertindak sebagai agen pengkhianatan, tindakan itu menjadi bagian dari rencana keselamatan Allah yang lebih besar. Seperti yang dijelaskan dalam teologi Kristen, Allah seringkali bekerja melalui tindakan manusia, meskipun dalam bentuk ketidaksempurnaan dan dosa, untuk tujuan yang lebih besar, yakni keselamatan umat manusia.[10]

b.    Tuhan Mengubah Kejatuhan Menjadi Kemuliaan

Pernyataan Josephus dalam Antiquities bahwa “Allah tidak menciptakan kejahatan, tetapi Ia tidak membiarkannya sia-sia” menggambarkan pandangan teologis yang mendalam tentang kehadiran kejahatan dan penderitaan di dunia.[11] Dalam konteks Yudas, meskipun ia berperan dalam mengkhianati Yesus, tindakan itu pada akhirnya menjadi bagian dari rencana Allah yang lebih besar. Kejatuhan moral Yudas, yang berupa tindakan jahat, diubah oleh Allah menjadi sarana untuk membawa kemuliaan tertinggi bagi umat manusia. Ini mengingatkan kita bahwa Allah tidak hanya hadir dalam kebaikan, tetapi mampu mengubah penderitaan dan kejahatan menjadi alat yang membawa pada keselamatan dan kemuliaan-Nya.[12]

 

Implikasi Pastoral

Dalam pelayanan pastoral, gereja tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa di tengah-tengah umat, selalu ada kemungkinan munculnya "Yudas", individu yang terlibat dalam pelayanan namun tidak menunjukkan pertobatan sejati. Hal ini memanggil gereja untuk lebih waspada, rendah hati, dan selalu membuka ruang bagi kasih dan disiplin rohani. Gereja perlu menyadari bahwa tidak semua orang yang terlibat dalam komunitas iman memiliki hubungan yang benar dengan Tuhan, dan meskipun demikian, gereja harus terus memberikan kesempatan bagi mereka untuk bertobat. Tugas pastoral gereja adalah menjaga keseimbangan antara kasih yang penuh pengertian dan disiplin yang mendidik, sehingga mereka yang terperangkap dalam dosa bisa dipulihkan.[13]

a.    Waspada dalam Pelayanan Kristen

Dalam pelayanan Kristen, kewaspadaan adalah sikap yang sangat penting. Gereja harus menyadari bahwa di antara anggota umat, ada potensi pengkhianatan atau penyelewengan dari ajaran Kristus. Waspada bukan berarti curiga terhadap setiap individu, tetapi menyadari bahwa dalam setiap komunitas, ada kemungkinan ketidaksesuaian dalam perilaku yang merusak integritas tubuh Kristus. Dalam hal ini, gereja diharapkan untuk tidak hanya mengandalkan suasana kasih tanpa mempertimbangkan potensi godaan atau dosa yang dapat muncul dalam kehidupan sehari-hari para anggotanya.[14]

b.    Rendah Hati dalam Menghadapi Tantangan

Rendah hati adalah sikap yang perlu dimiliki gereja ketika menghadapi mereka yang mungkin jatuh dalam dosa atau yang tidak bertobat. Gereja harus mengakui bahwa semua orang, termasuk mereka yang mungkin tidak sesuai dengan standar moral yang diharapkan, membutuhkan kasih dan pengampunan dari Allah. Melalui pengajaran Yesus, gereja belajar bahwa tidak ada satu pun orang yang sempurna, dan dalam setiap tindakan disiplin rohani, gereja harus menunjukkan sikap rendah hati dan kesediaan untuk mendampingi mereka kembali ke jalan yang benar. Gereja harus memiliki pemahaman bahwa bahkan mereka yang gagal moral sekali pun tetap memerlukan kesempatan untuk bertumbuh dalam kasih dan pengampunan yang Tuhan tawarkan.[15]

c.    Membuka Ruang untuk Kasih dan Disiplin Rohani

Kasih dan disiplin rohani adalah dua komponen yang saling melengkapi dalam pelayanan gereja. Kasih memanggil orang yang terjatuh untuk kembali, sementara disiplin rohani membantu menjaga tubuh Kristus tetap murni. Gereja harus mampu menggabungkan keduanya dalam tindakan pastoral yang penuh hikmat. Dengan membuka ruang untuk kasih yang menerima, gereja juga perlu mempraktikkan disiplin yang tepat untuk memastikan agar anggota tetap berada dalam relasi yang benar dengan Tuhan dan sesama. Disiplin rohani yang bijaksana menjadi cara gereja untuk menolong orang yang terperangkap dalam dosa untuk kembali kepada Tuhan melalui pertobatan yang sejati.[16]

d.    Teologi Pengampunan dalam Pelayanan Pastoral

Teologi pengampunan merupakan dasar yang sangat penting dalam pelayanan pastoral Kristen. Pengampunan bukan hanya tentang memaafkan dosa, tetapi juga tentang pemulihan hubungan yang rusak. Dalam pelayanan pastoral, gereja diundang untuk mewujudkan kasih Allah yang tak terbatas, yang bukan hanya memberikan pengampunan tetapi juga memfasilitasi pemulihan individu dalam komunitas iman. Gereja dipanggil untuk mengampuni dengan cara yang sama seperti Allah mengampuni kita, memberikan kesempatan bagi mereka yang bertobat untuk kembali ke jalan yang benar dan memulai hidup baru dalam Kristus.[17]

e.    Disiplin Rohani Sebagai Sarana Pemulihan

Disiplin rohani bukan hanya sekadar peneguran, tetapi merupakan sarana pemulihan yang mengarah pada pembentukan karakter. Gereja perlu mempraktikkan disiplin dengan tujuan yang positif, yakni membawa individu kembali dalam kebenaran dan kedamaian dengan Tuhan. Dalam hal ini, disiplin yang dimaksud bukanlah hukuman yang melukai, melainkan cara untuk membimbing mereka yang terjatuh dalam dosa untuk menemukan jalan kembali kepada Tuhan. Disiplin rohani yang dilandasi kasih akan memampukan gereja menjadi tempat yang penuh dengan pemulihan bagi setiap individu.[18]

f.     Kehidupan Gereja sebagai Komunitas Pemulihan

Gereja harus berfungsi sebagai komunitas yang mendorong pemulihan, bukan hanya sebagai tempat untuk menerima orang yang sudah bertobat, tetapi juga untuk membantu mereka yang masih dalam perjalanan menuju pertobatan. Dalam gereja, setiap orang memiliki kesempatan untuk dipulihkan, tanpa terkecuali. Pemulihan bukan hanya tentang pengampunan dosa, tetapi juga tentang mengembalikan individu pada tujuan hidup yang lebih tinggi dalam Kristus. Gereja perlu menyediakan ruang yang aman bagi setiap orang untuk berjuang bersama, saling menguatkan, dan membangun kehidupan bersama yang lebih baik dalam kasih dan kebenaran.[19]

Kesimpulan: Keseimbangan dalam Pelayanan Pastoral

Teologi mengenai pengkhianatan dan pemulihan yang terkandung dalam kisah Yudas memberikan wawasan penting dalam pelayanan pastoral. Gereja tidak hanya dipanggil untuk mendampingi mereka yang sudah pasti bertobat, tetapi juga harus bijaksana dalam menghadapi kenyataan bahwa di tengah gereja ada kemungkinan adanya "Yudas" yang belum bertobat. Melalui kewaspadaan, kerendahan hati, kasih, dan disiplin rohani, gereja bisa menyediakan ruang untuk pemulihan bagi mereka yang jatuh dalam dosa dan membawa mereka kembali ke dalam kasih dan panggilan Tuhan yang lebih besar.

 

 

 

 

 

 

 



[1] Yohanes Yuniatika, and Yushak B. Setyawan. "Pengkhianatan Yudas Iskariot Terhadap Yesus Dalam Injil Yohanes." Theologia Jurnal Teologi Interdisipliner 6 (2019): 61-84.

[2] Nasokhili Giawa, "Serving Others: Keteladanan Pelayanan Yesus Kristus Berdasarkan Yohanes 13." Integritas: Jurnal Teologi 1.1 (2019): 54-65.

[3] Firman Panjaitan, "Resensi Buku The Gospel of Judas dari Kodeks Tchacos." Fidei: Jurnal Teologi Sistematika dan Praktika 4.2 (2021): 315-325.

[4] Yohanes Yuniatika, and Yushak B. Setyawan. "Pengkhianatan Yudas Iskariot Terhadap Yesus Dalam Injil Yohanes." Theologia Jurnal Teologi Interdisipliner 6 (2019): 61-84.

[5] Anselmus dari Canterbury, Cur Deus Homo, hlm. 63, diterjemahkan dan diterbitkan ulang dalam berbagai edisi teologi klasik.

[6] Agustinus, Confessiones, Buku VII, §13, dalam terjemahan bahasa Inggris oleh Henry Chadwick, Confessions, Oxford University Press, 1991.

[7] Raymond E. Brown,  The Gospel According to John (XIII–XXI), Yale University Press, 1970,

[8] Stott, John, The Cross of Christ, InterVarsity Press, 1986

[9] Ed Parish Sanders, Paul and Palestinian Judaism: A comparison of patterns of religion. Fortress Press, 1977.

[10] Divine Providence And The Problem Of Evil: A Translation Of St. Augustine's De Ordine. Kessinger Publishing, 2010., 93

[11] Flavius Josephus, The Antiquities of the Jews Volume 1. Classic Books Library, 2009., 135.

[12] Karl Rahner, Foundations of Christian Faith. Seabury Press, 1978., 102.

[13] Jürgen Moltmann, Theology of Hope: On the Ground and the Implications of a Christian Eschatology. Fortress Press, 1993., 123.

[14] Christopher J. H. Wright, The Mission of God: Unlocking the Bible's Grand Narrative. IVP Academic, 2006., 178.

[15] Dietrich Bonhoeffer, Ethics. Scribner, 1995., 59.

[16] George Hunsinger, Disruptive grace: studies in the theology of Karl Barth. Wm. B. Eerdmans Publishing, 2000., 130.

[17] Lesslie Newbigin, The Open Secret: An Introduction to the Theology of Mission, Revised ed. William B Eerdmans Publishing Co, 1995., 204.

[18] Desmond Mpilo Tutu, Hope And Suffering: Sermons And Speeches. William B Eerdmans Publishing Co. 2004., 144.

[19] Tutu, Hope And Suffering: Sermons And Speeches.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Kesadaran Akan Belas kasihan Tuhan" Yakobus 5:11

Ayat Yakobus 5:11 “Sesungguhnya kami menyebut mereka berbahagia, yaitu mereka yang telah bertekun; kamu telah mendengar tentang ketekuna...