Artikel ini menganalisis posisi Yudas Iskariot
dalam narasi penebusan Yesus Kristus dengan pendekatan Kristologis dan
Eskatologis. Kajian ini bertujuan menggali apakah peran Yudas bersifat
instrumental dalam rencana keselamatan Allah atau murni sebagai akibat dari
kehendak bebas manusia. Analisis dilakukan melalui studi literatur teologi
klasik, eksposisi ayat-ayat kunci, dan sintesis pemikiran Bapa-Bapa Gereja
serta teolog kontemporer.
Pendahuluan
Topik mengenai pengkhianatan Yudas Iskariot dan hubungannya dengan
kemahatahuan Yesus serta kehendak bebas manusia merupakan isu teologis yang
telah banyak diteliti dalam teologi Kristen. Dalam konteks ini, ada ketegangan
antara doktrin predestinasi, kehendak bebas, dan rencana keselamatan Allah yang
menempatkan peran Yudas dalam posisi yang sangat kompleks sebagai bagian dari
rencana ilahi, sekaligus agen moral yang bertanggung jawab atas tindakannya. Mengapa
Tuhan Yesus memilih Yudas Iskariot sebagai murid dan bendahara, padahal Ia
Mahatahu dan pasti tahu Yudas akan mengkhianati dan bahkan memanipulasi uang
kas?
Dalam Yohanes 6:70–71, Yesus menyebut salah satu murid-Nya, Yudas,
sebagai "iblis," yang menunjukkan kemahatahuan Yesus akan masa depan
Yudas, termasuk pengkhianatannya. Teologi klasik memaknai hal ini sebagai
penegasan bahwa Yesus mengetahui peran Yudas dalam rencana keselamatan Allah,
di mana pengkhianatan Yudas harus terjadi untuk menggenapi nubuat-nubuat
Mesianik seperti yang tercantum dalam Mazmur 41:10 dan Zakharia 11:12-13.
Beberapa teolog, seperti Augustinus, memandang tindakan Yudas
sebagai bagian dari “divine necessity” atau keharusan ilahi agar karya salib
dapat terlaksana, namun hal ini tidak menghapus tanggung jawab moral Yudas.
Allah dapat memakai kejahatan manusia untuk mencapai tujuan kebaikan-Nya tanpa
menjadi penyebab langsung kejahatan tersebut. Dalam konteks teologi kehendak
bebas dan determinisme, ajaran Arminianisme menegaskan bahwa manusia memiliki
kehendak bebas sejati, sehingga meskipun Yesus mengetahui pengkhianatan Yudas,
Yudas tetap bertanggung jawab karena membuat keputusan secara bebas.
Sebaliknya, pandangan Kalvinis menekankan bahwa Yudas sudah ditentukan sejak
awal untuk peran tersebut sebagai bagian dari rencana predestinasi Allah.
Narasi Yudas dalam Injil Yohanes berfungsi secara teologis untuk
mengontraskan antara terang dan gelap, kasih dan pengkhianatan, di mana Yudas
diposisikan sebagai simbol kegelapan yang menolak kasih Kristus meskipun berada
dalam lingkaran pelayanan Yesus secara langsung.[1]
Simbolisme iblis dan agen kegelapan juga muncul dalam Yohanes 13:27, yang
menyebutkan bahwa “Setan masuk ke dalam Yudas” setelah menerima roti dari
Yesus, menegaskan bahwa pengkhianatan Yudas melibatkan dimensi spiritual dan
kosmik dalam pertarungan antara kuasa terang dan kegelapan. Namun, Yudas tetap
dianggap sebagai pelaku aktif, bukan korban pasif dari pengaruh iblis.
Tanggung jawab moral Yudas ditegaskan dalam narasi Injil, di mana
walaupun tindakannya digunakan dalam rencana keselamatan, ia tetap menerima
kecaman dan “celaka” dari Yesus, sebagaimana tercermin dalam Matius 26:24. Hal
ini menunjukkan penekanan etis bahwa pengkhianatan adalah kejahatan, meskipun
Allah dapat memakainya untuk tujuan-Nya.[2]
Perspektif teologi simpatik muncul dalam Injil Yudas, sebuah teks non-kanonik
yang menggambarkan Yudas sebagai murid yang taat dan mengkhianati Yesus atas
permintaan-Nya sendiri, membuka diskusi tentang kompleksitas peran Yudas dan
bagaimana gereja awal menafsirkan identitasnya, meskipun pandangan ini ditolak
oleh ortodoksi Kristen.[3]
Dari sudut pandang sosio-politik, pengkhianatan Yudas dapat
ditafsirkan sebagai respons terhadap ketidaksesuaian antara harapan politis
Mesias dan kenyataan pelayanan Yesus, di mana Yudas mungkin merasa kecewa
karena Yesus tidak memenuhi harapan revolusioner yang ia dan banyak orang lain
dambakan.[4]
Selain itu, dalam Yohanes 13:18-30, terlihat bahwa Yesus mengalami kepedihan
emosional akibat pengkhianatan Yudas, yang menunjukkan bahwa meskipun Yesus
mengetahui apa yang akan terjadi, hubungan personal antara Guru dan murid tetap
memiliki makna mendalam dan mempertegas kemanusiaan Yesus yang merasakan duka
atas pengkhianatan tersebut. Akhir tragis Yudas, yaitu bunuh diri sebagaimana
dicatat dalam Matius 27:5, ditafsirkan oleh gereja mula-mula sebagai penyesalan
yang mendalam namun tanpa pertobatan sejati. Augustinus menyebutnya sebagai
contoh penyesalan tanpa harapan, dan teologi Kristen umumnya melihat hal ini
sebagai bukti kehendak bebas manusia yang digunakan untuk menolak rahmat Allah,
bukan sebagai korban nasib semata.
Kristologi:
Peran Yudas dalam Jalan Salib
Peran Yudas Iskariot dalam jalan salib Yesus merupakan salah satu
aspek penting dalam studi kristologi yang menghubungkan nubuat, penderitaan
Mesias, dan pengetahuan ilahi Allah. Pertama, nubuat pengkhianatan Yudas sudah
tercermin dalam Mazmur 41:10, yang dikutip secara eksplisit oleh Yesus dalam
Yohanes 13:18. Dalam ayat ini, Yesus menyatakan bahwa orang yang makan
bersama-Nya akan mengangkat tumit terhadap-Nya, sebuah metafora yang
menggambarkan pengkhianatan dari seseorang yang sangat dekat. Kutipan ini menegaskan
bahwa pengkhianatan Yudas bukanlah kejadian acak, melainkan bagian dari rencana
ilahi yang telah dinubuatkan dalam Kitab Suci Perjanjian Lama. Hal ini
menunjukkan kesinambungan antara nubuat Mesianik dan penggenapannya dalam
peristiwa jalan salib.
Dalam konteks teologi penderitaan, Anselmus dari Canterbury
memberikan kontribusi penting melalui karyanya Cur Deus Homo (Mengapa Allah
Menjadi Manusia). Anselmus menegaskan bahwa keselamatan manusia hanya dapat
dicapai melalui penderitaan dan pengorbanan yang sempurna dari Mesias.[5]
Dalam kerangka ini, peran Yudas sebagai pengkhianat bukan hanya sebagai pelaku
kejahatan, tetapi juga sebagai agen yang mempercepat klimaks penderitaan
Kristus. Dengan demikian, pengkhianatan Yudas menjadi bagian integral dari
proses penebusan, di mana penderitaan Yesus mencapai puncaknya melalui
penangkapan dan penyaliban-Nya. Anselmus menekankan bahwa tanpa penderitaan
yang sempurna ini, keselamatan tidak mungkin terwujud.
Selanjutnya, dalam aspek pengetahuan ilahi, Agustinus dari Hippo
memberikan pandangan teologis yang mendalam dalam Confessiones (Pengakuan),
khususnya Buku VII, paragraf 13. Agustinus menulis bahwa tidak ada kejahatan
yang terjadi di luar pengetahuan Allah, dan Allah mampu membalikkan setiap
kejahatan menjadi kebaikan.[6]
Dalam hal ini, pengkhianatan Yudas, meskipun merupakan tindakan jahat, tidak
lepas dari pengawasan dan rencana Allah yang mahatahu. Allah menggunakan
tindakan jahat tersebut sebagai sarana untuk mencapai tujuan keselamatan yang
lebih besar, yaitu penebusan manusia melalui salib Kristus. Pandangan ini
menegaskan kemahatahuan dan kedaulatan Allah dalam sejarah keselamatan.
Dari perspektif kristologi, peran Yudas dalam jalan salib
menegaskan dualitas sifat Yesus sebagai Mesias yang mengetahui segala sesuatu
dan sekaligus mengalami penderitaan manusiawi. Yesus sadar akan pengkhianatan
yang akan dilakukan Yudas, namun tetap memilih untuk melanjutkan misi-Nya. Hal
ini menunjukkan bahwa penderitaan dan kematian-Nya bukanlah akibat
ketidaktahuan atau kegagalan, melainkan bagian dari rencana keselamatan yang
telah ditetapkan oleh Allah sejak semula. Dengan demikian, jalan salib menjadi
pusat dari karya penebusan yang melibatkan unsur kemahatahuan ilahi dan
pengalaman manusiawi Yesus.
Dalam kajian akademis, hubungan antara nubuat Mazmur 41:10 dan
penggenapannya dalam Yohanes 13:18 sering dianalisis sebagai contoh hermeneutik
nubuat Mesianik yang terwujud dalam Perjanjian Baru.[7]
Para sarjana Alkitab menekankan pentingnya konteks historis dan teologis dalam
memahami bagaimana teks Perjanjian Lama diinterpretasikan ulang dalam narasi
Injil. Hal ini memperlihatkan bahwa pengkhianatan Yudas bukan hanya peristiwa
historis, tetapi juga simbolik dalam rencana keselamatan yang lebih luas.
Selain itu, teologi penderitaan yang dikembangkan oleh Anselmus
membuka diskusi tentang makna penderitaan Kristus dalam konteks penebusan.
Anselmus menggunakan argumen rasional dan filosofis untuk menjelaskan mengapa
Allah harus menjadi manusia dan menderita demi menebus dosa manusia. Konsep ini
menjadi dasar bagi banyak teologi penebusan selanjutnya, yang melihat
penderitaan Yesus sebagai syarat mutlak untuk menghapus dosa dan memulihkan
hubungan manusia dengan Allah.
Agustinus, dengan pendekatan filosofis dan teologisnya, menegaskan
bahwa Allah tidak hanya mengetahui segala sesuatu, tetapi juga mengendalikan
sejarah keselamatan dengan cara yang melampaui pemahaman manusia. Dalam
Confessiones, ia menulis tentang bagaimana Allah mengizinkan kejahatan terjadi
untuk tujuan yang lebih besar, yaitu kebaikan yang abadi. Ini memberikan
landasan teologis bagi pemahaman bahwa pengkhianatan Yudas, meskipun jahat,
tetap berada dalam kendali Allah dan berkontribusi pada rencana keselamatan.
Dalam konteks kristologi kontemporer, peran Yudas juga menjadi
bahan refleksi tentang hubungan antara kehendak bebas manusia dan kedaulatan
ilahi. Para teolog modern sering membahas bagaimana tindakan jahat manusia
dapat berinteraksi dengan rencana Allah tanpa menghilangkan tanggung jawab
moral individu. Hal ini memperkaya pemahaman tentang penderitaan Kristus
sebagai pengalaman yang melibatkan interaksi kompleks antara kehendak manusia
dan rencana ilahi. Akhirnya, studi tentang peran Yudas dalam jalan salib
mengajak kita untuk merenungkan misteri keselamatan yang melibatkan
penderitaan, pengkhianatan, dan pengetahuan ilahi. Melalui nubuat, penderitaan,
dan kemahatahuan Allah, jalan salib menjadi pusat dari karya penebusan yang
mengubah sejarah manusia. Kajian ini tidak hanya memperdalam pemahaman
teologis, tetapi juga mengajak umat beriman untuk menghayati makna penderitaan
dan pengorbanan Kristus dalam kehidupan mereka.
Eskatologi:
Kejatuhan Yudas dan Konsekuensi Kekal
Kejatuhan Yudas Iskariot dan
akibat kekalnya merupakan tema penting dalam eskatologi Kristen, yang
menghubungkan aspek moral, teologis, dan keselamatan kekal. Yudas, setelah
menyadari kesalahannya dalam mengkhianati Yesus, merasa menyesal dan
mengembalikan uang perak yang diterimanya, namun akhirnya memilih untuk bunuh
diri. Keputusannya ini menandai keterputusannya dari rahmat Allah, berbeda
dengan Petrus yang meski jatuh dalam dosa, bertobat dan kembali kepada Yesus.
Dalam teologi, pertobatan Yudas dipandang sebagai penyesalan duniawi yang tidak
mengarah pada perubahan hati yang sejati, sehingga ia menjadi simbol bagi
mereka yang menolak keselamatan dan akhirnya berakhir dalam kebinasaan.[8]
Perbedaan antara Yudas dan Petrus
menjadi refleksi mendalam dalam eskatologi Kristen. Keduanya mengalami
kejatuhan moral, namun reaksi mereka sangat berbeda. Petrus, meskipun
menyangkal Yesus tiga kali, bertobat dengan tulus dan kemudian diangkat sebagai
pemimpin gereja mula-mula. Sebaliknya, Yudas menolak pengampunan dan memilih
jalan kehancuran. Hal ini menegaskan bahwa pilihan manusia memiliki dampak
kekal dalam rencana keselamatan Allah. Eskatologi Kristen menekankan bahwa
meskipun Allah memegang kendali atas sejarah keselamatan, manusia tetap
memiliki tanggung jawab moral dalam keputusan mereka yang menentukan nasib
kekal mereka.
Dalam Yohanes 17:12, Yesus
menyebut Yudas sebagai "anak kebinasaan," yang mengarah pada
pemenuhan nubuat dan rencana ilahi. Ini sejalan dengan Roma 9:22–23 yang
menyebutkan konsep "bejana murka untuk kebinasaan," di mana Allah
menggunakan sebagian orang untuk tujuan penghakiman. Namun, banyak teolog
modern, seperti Gerhard Lohse, menolak interpretasi determinisme mutlak
terhadap ayat-ayat ini dan lebih menekankan bahwa teks-teks tersebut
menunjukkan bagaimana Allah menggunakan kehendak bebas manusia dalam rencana-Nya,
bukan sebagai penetapan mutlak.[9]
Secara teologis, kejatuhan Yudas
menunjukkan ketegangan antara kedaulatan Allah dan kehendak bebas manusia.
Eskatologi Kristen mengajarkan bahwa Allah mengetahui dan mengizinkan segala
hal terjadi, termasuk kejatuhan Yudas, tetapi tidak memaksa manusia untuk
berbuat jahat. Yudas bertanggung jawab atas pilihannya sendiri, dan
penolakannya terhadap rahmat Allah membawa konsekuensi kekal berupa kebinasaan.
Hal ini menegaskan bahwa keselamatan adalah anugerah yang harus diterima dengan
sukarela oleh individu. Dalam kajian akademis, perbandingan antara Yudas dan
Petrus sering digunakan untuk menggambarkan dua kemungkinan akhir bagi manusia:
pertobatan dan pengampunan versus penolakan dan kebinasaan. Narasi Injil
menempatkan kedua tokoh ini sebagai simbol dari pilihan moral yang menentukan
nasib kekal manusia, dengan Petrus menjadi contoh pertobatan dan pemulihan,
sementara Yudas menjadi peringatan akan bahaya penolakan terhadap rahmat Allah.
Selain itu, konsep “anak kebinasaan” dalam Yohanes 17:12 dan “bejana murka” dalam Roma 9 menimbulkan perdebatan teologis mengenai predestinasi dan kehendak bebas. Lohse dan teolog lain menegaskan bahwa ayat-ayat ini harus dipahami dalam konteks keseluruhan Alkitab yang menekankan tanggung jawab moral manusia. Allah menggunakan pilihan manusia, bahkan yang jahat, untuk mewujudkan rencana-Nya tanpa menghilangkan kebebasan manusia untuk membuat keputusan. Dalam eskatologi, kejatuhan Yudas mengingatkan kita akan realitas penghakiman kekal. Gereja mula-mula dan teologi Kristen tradisional melihat kematian Yudas sebagai contoh tragis dari seseorang yang menolak rahmat dan berakhir dalam kebinasaan. Ini menjadi peringatan bagi umat beriman untuk menjaga iman dan menerima pengampunan Allah dengan sungguh-sungguh, agar tidak mengalami nasib yang serupa. Kajian teologis juga menunjukkan bahwa meskipun Yudas mengalami kejatuhan, narasi Injil tidak mengabaikan kasih dan keadilan Allah. Allah memberikan kesempatan untuk bertobat, seperti yang terlihat pada Petrus, namun juga menghormati keputusan manusia yang menolak rahmat-Nya. Hal ini mencerminkan keseimbangan antara kasih Allah dan keadilan-Nya dalam eskatologi Kristen.
Sintesis Teologis dan
Implikasi Pastoral
a.
Pengkhianatan
dalam Rencana Ilahi
Yudas Iskariot, yang dikenal sebagai pengkhianat dalam kisah
kehidupan Yesus, memegang peranan penting dalam pemahaman teologis mengenai
pengkhianatan dan dosa. Yudas memang pelaku dosa besar, menyerahkan Yesus
dengan harga tiga puluh keping perak, namun dalam pandangan teologis, dosa ini
digunakan Allah untuk tujuan yang lebih tinggi, yaitu penebusan umat manusia
melalui kematian Yesus di salib. Dalam hal ini, meskipun Yudas secara pribadi
bertindak sebagai agen pengkhianatan, tindakan itu menjadi bagian dari rencana
keselamatan Allah yang lebih besar. Seperti yang dijelaskan dalam teologi
Kristen, Allah seringkali bekerja melalui tindakan manusia, meskipun dalam
bentuk ketidaksempurnaan dan dosa, untuk tujuan yang lebih besar, yakni
keselamatan umat manusia.[10]
b.
Tuhan
Mengubah Kejatuhan Menjadi Kemuliaan
Pernyataan Josephus dalam Antiquities bahwa “Allah tidak
menciptakan kejahatan, tetapi Ia tidak membiarkannya sia-sia” menggambarkan
pandangan teologis yang mendalam tentang kehadiran kejahatan dan penderitaan di
dunia.[11]
Dalam konteks Yudas, meskipun ia berperan dalam mengkhianati Yesus, tindakan
itu pada akhirnya menjadi bagian dari rencana Allah yang lebih besar. Kejatuhan
moral Yudas, yang berupa tindakan jahat, diubah oleh Allah menjadi sarana untuk
membawa kemuliaan tertinggi bagi umat manusia. Ini mengingatkan kita bahwa
Allah tidak hanya hadir dalam kebaikan, tetapi mampu mengubah penderitaan dan
kejahatan menjadi alat yang membawa pada keselamatan dan kemuliaan-Nya.[12]
Implikasi Pastoral
Dalam pelayanan pastoral, gereja tidak bisa mengabaikan kenyataan
bahwa di tengah-tengah umat, selalu ada kemungkinan munculnya
"Yudas", individu yang terlibat dalam pelayanan namun tidak
menunjukkan pertobatan sejati. Hal ini memanggil gereja untuk lebih waspada,
rendah hati, dan selalu membuka ruang bagi kasih dan disiplin rohani. Gereja
perlu menyadari bahwa tidak semua orang yang terlibat dalam komunitas iman
memiliki hubungan yang benar dengan Tuhan, dan meskipun demikian, gereja harus
terus memberikan kesempatan bagi mereka untuk bertobat. Tugas pastoral gereja
adalah menjaga keseimbangan antara kasih yang penuh pengertian dan disiplin
yang mendidik, sehingga mereka yang terperangkap dalam dosa bisa dipulihkan.[13]
a. Waspada
dalam Pelayanan Kristen
Dalam pelayanan Kristen, kewaspadaan adalah sikap yang sangat
penting. Gereja harus menyadari bahwa di antara anggota umat, ada potensi
pengkhianatan atau penyelewengan dari ajaran Kristus. Waspada bukan berarti
curiga terhadap setiap individu, tetapi menyadari bahwa dalam setiap komunitas,
ada kemungkinan ketidaksesuaian dalam perilaku yang merusak integritas tubuh
Kristus. Dalam hal ini, gereja diharapkan untuk tidak hanya mengandalkan
suasana kasih tanpa mempertimbangkan potensi godaan atau dosa yang dapat muncul
dalam kehidupan sehari-hari para anggotanya.[14]
b. Rendah
Hati dalam Menghadapi Tantangan
Rendah hati adalah sikap yang perlu dimiliki gereja ketika
menghadapi mereka yang mungkin jatuh dalam dosa atau yang tidak bertobat.
Gereja harus mengakui bahwa semua orang, termasuk mereka yang mungkin tidak
sesuai dengan standar moral yang diharapkan, membutuhkan kasih dan pengampunan
dari Allah. Melalui pengajaran Yesus, gereja belajar bahwa tidak ada satu pun
orang yang sempurna, dan dalam setiap tindakan disiplin rohani, gereja harus
menunjukkan sikap rendah hati dan kesediaan untuk mendampingi mereka kembali ke
jalan yang benar. Gereja harus memiliki pemahaman bahwa bahkan mereka yang
gagal moral sekali pun tetap memerlukan kesempatan untuk bertumbuh dalam kasih
dan pengampunan yang Tuhan tawarkan.[15]
c. Membuka
Ruang untuk Kasih dan Disiplin Rohani
Kasih dan disiplin rohani adalah dua komponen yang saling
melengkapi dalam pelayanan gereja. Kasih memanggil orang yang terjatuh untuk
kembali, sementara disiplin rohani membantu menjaga tubuh Kristus tetap murni.
Gereja harus mampu menggabungkan keduanya dalam tindakan pastoral yang penuh
hikmat. Dengan membuka ruang untuk kasih yang menerima, gereja juga perlu
mempraktikkan disiplin yang tepat untuk memastikan agar anggota tetap berada
dalam relasi yang benar dengan Tuhan dan sesama. Disiplin rohani yang bijaksana
menjadi cara gereja untuk menolong orang yang terperangkap dalam dosa untuk
kembali kepada Tuhan melalui pertobatan yang sejati.[16]
d. Teologi
Pengampunan dalam Pelayanan Pastoral
Teologi pengampunan merupakan dasar yang sangat penting dalam
pelayanan pastoral Kristen. Pengampunan bukan hanya tentang memaafkan dosa,
tetapi juga tentang pemulihan hubungan yang rusak. Dalam pelayanan pastoral,
gereja diundang untuk mewujudkan kasih Allah yang tak terbatas, yang bukan
hanya memberikan pengampunan tetapi juga memfasilitasi pemulihan individu dalam
komunitas iman. Gereja dipanggil untuk mengampuni dengan cara yang sama seperti
Allah mengampuni kita, memberikan kesempatan bagi mereka yang bertobat untuk
kembali ke jalan yang benar dan memulai hidup baru dalam Kristus.[17]
e. Disiplin
Rohani Sebagai Sarana Pemulihan
Disiplin rohani bukan hanya sekadar peneguran, tetapi merupakan
sarana pemulihan yang mengarah pada pembentukan karakter. Gereja perlu
mempraktikkan disiplin dengan tujuan yang positif, yakni membawa individu
kembali dalam kebenaran dan kedamaian dengan Tuhan. Dalam hal ini, disiplin
yang dimaksud bukanlah hukuman yang melukai, melainkan cara untuk membimbing
mereka yang terjatuh dalam dosa untuk menemukan jalan kembali kepada Tuhan.
Disiplin rohani yang dilandasi kasih akan memampukan gereja menjadi tempat yang
penuh dengan pemulihan bagi setiap individu.[18]
f. Kehidupan
Gereja sebagai Komunitas Pemulihan
Gereja harus berfungsi sebagai komunitas yang mendorong pemulihan, bukan hanya sebagai tempat untuk menerima orang yang sudah bertobat, tetapi juga untuk membantu mereka yang masih dalam perjalanan menuju pertobatan. Dalam gereja, setiap orang memiliki kesempatan untuk dipulihkan, tanpa terkecuali. Pemulihan bukan hanya tentang pengampunan dosa, tetapi juga tentang mengembalikan individu pada tujuan hidup yang lebih tinggi dalam Kristus. Gereja perlu menyediakan ruang yang aman bagi setiap orang untuk berjuang bersama, saling menguatkan, dan membangun kehidupan bersama yang lebih baik dalam kasih dan kebenaran.[19]
Kesimpulan: Keseimbangan
dalam Pelayanan Pastoral
Teologi mengenai pengkhianatan dan pemulihan yang terkandung dalam
kisah Yudas memberikan wawasan penting dalam pelayanan pastoral. Gereja tidak
hanya dipanggil untuk mendampingi mereka yang sudah pasti bertobat, tetapi juga
harus bijaksana dalam menghadapi kenyataan bahwa di tengah gereja ada
kemungkinan adanya "Yudas" yang belum bertobat. Melalui kewaspadaan,
kerendahan hati, kasih, dan disiplin rohani, gereja bisa menyediakan ruang
untuk pemulihan bagi mereka yang jatuh dalam dosa dan membawa mereka kembali ke
dalam kasih dan panggilan Tuhan yang lebih besar.
[1] Yohanes Yuniatika, and
Yushak B. Setyawan. "Pengkhianatan Yudas Iskariot Terhadap Yesus Dalam
Injil Yohanes." Theologia Jurnal Teologi Interdisipliner 6 (2019): 61-84.
[2] Nasokhili Giawa,
"Serving Others: Keteladanan Pelayanan Yesus Kristus Berdasarkan Yohanes
13." Integritas: Jurnal Teologi 1.1 (2019): 54-65.
[3] Firman Panjaitan,
"Resensi Buku The Gospel of Judas dari Kodeks Tchacos." Fidei: Jurnal
Teologi Sistematika dan Praktika 4.2 (2021): 315-325.
[4] Yohanes Yuniatika, and
Yushak B. Setyawan. "Pengkhianatan Yudas Iskariot Terhadap Yesus Dalam
Injil Yohanes." Theologia Jurnal Teologi Interdisipliner 6 (2019): 61-84.
[5] Anselmus dari Canterbury,
Cur Deus Homo, hlm. 63, diterjemahkan dan diterbitkan ulang dalam berbagai
edisi teologi klasik.
[6] Agustinus, Confessiones,
Buku VII, §13, dalam terjemahan bahasa Inggris oleh Henry Chadwick,
Confessions, Oxford University Press, 1991.
[7] Raymond E. Brown, The Gospel According to John (XIII–XXI), Yale
University Press, 1970,
[8] Stott, John, The Cross of
Christ, InterVarsity Press, 1986
[9] Ed Parish Sanders, Paul and
Palestinian Judaism: A comparison of patterns of religion. Fortress Press,
1977.
[10] Divine Providence And The
Problem Of Evil: A Translation Of St. Augustine's De Ordine. Kessinger
Publishing, 2010., 93
[11] Flavius Josephus, The
Antiquities of the Jews Volume 1. Classic Books Library, 2009., 135.
[12] Karl Rahner, Foundations of
Christian Faith. Seabury Press, 1978., 102.
[13] Jürgen Moltmann, Theology of
Hope: On the Ground and the Implications of a Christian Eschatology. Fortress
Press, 1993., 123.
[14] Christopher J. H. Wright,
The Mission of God: Unlocking the Bible's Grand Narrative. IVP Academic, 2006.,
178.
[15] Dietrich Bonhoeffer, Ethics.
Scribner, 1995., 59.
[16] George Hunsinger, Disruptive
grace: studies in the theology of Karl Barth. Wm. B. Eerdmans Publishing, 2000.,
130.
[17] Lesslie Newbigin, The Open
Secret: An Introduction to the Theology of Mission, Revised ed. William B
Eerdmans Publishing Co, 1995., 204.
[18] Desmond Mpilo Tutu, Hope And
Suffering: Sermons And Speeches. William B Eerdmans Publishing Co. 2004., 144.
[19] Tutu, Hope And Suffering:
Sermons And Speeches.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar