"Credimus Ergo Cogitamus": Mei 2025

Sabtu, 31 Mei 2025

“Sehati Sepikir didalam Tuhan” Filipi 4:2-9



Ini adalah Manuskrip Khotbah saya dalam Ibadah dan Perayaan Ulangtahun Punguan Toga Sahata Lumbanraja Boru, Bere, Ibebere Sekota Batam yang dilaksanakan pada Hari Minggu, 01 Juni 2025 Jam 09.30  Wib - Selesai.

Pendahulan

Ada ungkapan bijak yang mengatakan bahwa

“tidak ada yang sempurna atau selalu benar sepanjang waktu; pada akhirnya, kasih sayang lebih penting daripada kesempurnaan.”

Ungkapan ini mencerminkan kenyataan hidup manusia, bahwa dalam menjalani kehidupan, kita akan selalu berhadapan dengan berbagai permasalahan. Ini karena tidak ada manusia yang sempurna atau senantiasa berada di pihak yang benar. Ketidaksempurnaan ini terlihat nyata dalam hubungan antar manusia, yang sering kali dipenuhi perbedaan dan potensi konflik, pertikaian, serta perpecahan. Situasi seperti ini juga terjadi dalam kehidupan jemaat di Filipi, sebagaimana dicerminkan dalam bagian Firman yang sedang dibahas.

Surat Paulus kepada jemaat di Filipi secara umum berisi pengalaman pribadinya serta nasihat-nasihat yang berkaitan dengan kondisi yang tengah dihadapi oleh jemaat, termasuk adanya perpecahan. Maka tidak mengherankan jika dalam surat ini Paulus berulang kali menekankan pentingnya persatuan dan menjaga keselarasan dalam jemaat (1:27; 2:1-4; 4:2-3).

Secara lebih khusus, dalam Filipi 4:2-9, Paulus memberikan nasihat kepada dua perempuan, yaitu Euodia dan Sintikhe. Mereka adalah tokoh penting dan pelayan Injil yang aktif dalam jemaat Filipi, namun diketahui sedang mengalami ketegangan satu sama lain. Paulus mendorong mereka untuk mengesampingkan perbedaan dan memulihkan hubungan. Untuk membantu mendamaikan mereka, Paulus menyebut nama Sunsugos seseorang yang dikenal sebagai sahabat sejati dan diharapkan mampu menjadi penengah. Sebab, perselisihan di antara pemimpin jemaat ini dapat berdampak negatif pada kesatuan jemaat Filipi yang selama ini telah menunjukkan kedewasaan rohani.

Analisis Tekas

Dalam bagian akhir suratnya, pikiran Paulus mulai berfokus pada berbagai persoalan internal gereja. Sepanjang surat Filipi, tampak adanya tanda-tanda perpecahan dalam jemaat, dan untuk merespons hal ini, Paulus menyampaikan ajaran yang kuat, baik dari sisi doktrinal (Filipi 2:1–11) maupun praktis (Filipi 2:12–18). Namun, pada pasal ini, kita akhirnya menemukan petunjuk paling nyata tentang akar masalah yang sedang dihadapi jemaat meskipun bukti itu tetap terbatas.

Beberapa nasihat penting diberikan Paulus dalam bagian ini: ia mengimbau agar jemaat tetap teguh (4:1), hidup dalam kesatuan (4:2–3), bersukacita dan mengalami damai sejahtera (4:4–7), serta memiliki pola pikir yang benar (4:8–9).

Terkait dengan struktur teks, ada perdebatan di kalangan penerjemah mengenai di mana bagian ini seharusnya dimulai. Ayat 4:1 bersifat transisional dan dapat dikaitkan dengan bagian sebelumnya maupun yang sesudahnya. Secara tata bahasa, frasa pembuka “karena itu” (hōste) lazimnya merujuk ke depan. Contoh serupa dapat ditemukan di Filipi 2:12, yang mengaitkan ajaran tentang pengosongan diri Kristus dengan tanggung jawab praktis jemaat.

Dengan demikian, Filipi 4:1 lebih tepat dianggap sebagai bagian dari nasihat praktis yang menutup surat ini, di mana Paulus menerapkan kebenaran teologis dari pasal sebelumnya (pasal 3) ke dalam kehidupan nyata dan relasional jemaat.

ü  Filipi 4 :2

Dalam Filipi 4:2, Rasul Paulus secara khusus menyebut dua perempuan anggota jemaat, Euodia dan Sintikhe, dan memohon agar mereka "sehati sepikir dalam Tuhan." Ini merupakan satu-satunya bagian dalam surat Filipi di mana konflik personal secara eksplisit disinggung. Pada bagian ini, Paulus mulai menyoroti masalah persatuan dalam jemaat, yang tampaknya menjadi persoalan khusus pertama yang secara eksplisit disebutkan. Meskipun baru disebut di bagian akhir surat, indikasi tentang adanya konflik mungkin sudah terasa sejak awal. Penempatan isu ini dalam surat mencerminkan dua hal:

  1. Di satu sisi, penampilannya di bagian penting surat menunjukkan bahwa persoalan ini cukup serius dan bisa menimbulkan perpecahan dalam jemaat.
  2. Di sisi lain, karena dibahas dengan pendekatan yang lembut dan tidak tergesa-gesa, tampaknya Paulus tidak melihatnya sebagai krisis besar, dan ia percaya pada kemampuan kedua perempuan tersebut serta gereja untuk menyelesaikannya.

Konteks dan Masalah Utama: Perselisihan Internal

Paulus menyebut Euodia dan Sintikhe karena terjadi perselisihan pribadi antara mereka berdua, yang cukup serius sehingga sampai ke telinga Paulus dan berpotensi mengganggu kesatuan jemaat Filipi.

  • Mereka bukan anggota biasa; keduanya adalah pemimpin perempuan yang menonjol dalam pelayanan Injil di Filipi (lihat ayat 3). Paulus menyebut mereka pernah "berjuang bersama dalam pekabaran Injil".
  • Karena posisi mereka yang penting, konflik di antara mereka tidak hanya bersifat pribadi, tapi berpotensi memecah belah jemaat secara lebih luas.

Apa Masalahnya?

Alkitab tidak secara eksplisit menyebutkan bentuk perselisihan tersebut Paulus tidak menguraikan detailnya, mungkin dengan bijaksana agar tidak mempermalukan mereka secara publik. Namun, berdasarkan struktur surat dan konteks:

  • Masalahnya bukan ajaran sesat atau penyimpangan teologis, sebab jika itu kasusnya, Paulus akan mengecam lebih tegas seperti dalam surat Galatia.
  • Kemungkinan besar, perselisihan berkaitan dengan perbedaan pendapat, peran pelayanan, atau pendekatan dalam memimpin jemaat.
  • Karena jemaat Filipi adalah jemaat yang cukup dewasa secara iman (Filipi 1:3–6), maka konflik ini tampaknya lebih kepada relasi dan ego pribadi daripada masalah doktrinal besar.

✍️ Cara Paulus Menangani Masalah:

Pertama, Paulus menyerukan agar kedua wanita tersebut menyelesaikan persoalan mereka sendiri dengan memiliki pikiran yang seia sekata (Filipi 4:2). Ia menyampaikan permintaan tersebut kepada masing-masing secara langsung, dengan kata-kata yang penuh urgensi dan kasih tanpa berpihak. Ia “mendesak” keduanya agar menyatu dalam kesatuan di dalam Tuhan. Penyelesaian terbaik untuk perbedaan yang tidak prinsipil adalah dengan berbicara langsung dan mencari jalan damai secara pribadi.

Frasa yang digunakan Paulus untuk menggambarkan sikap yang diharapkan adalah autos phroneō, yang berarti "berpikiran sama" atau "memiliki cara pandang yang selaras" (lih. Roma 12:16; 15:5; 2 Korintus 13:11; Filipi 2:2). Paulus menggunakan istilah ini dalam konteks kesatuan, menekankan pentingnya memiliki sikap yang selaras dan saling menghormati agar mereka bisa bekerjasama dengan setia dalam pelayanan.

Kesatuan seperti ini hanya bisa dicapai bila masing-masing meneladani kerendahan hati Kristus, yang telah melepaskan hak-Nya demi kepentingan orang lain (Filipi 2:5–11). Paulus menunjukkan bahwa penyatuan pikiran harus terjadi di dalam Tuhan karena otoritas Tuhan, kesatuan yang mereka miliki dalam Kristus, dan kerelaan mereka untuk tunduk pada kehendak Tuhan. Seruan Paulus adalah agar mereka merendahkan diri di hadapan Tuhan Yesus dan meneladani pikiran-Nya demi pemulihan hubungan.

Namun, hal ini tidak berarti bahwa mereka harus mengorbankan kebenaran doktrin yang mendasar. Paulus tidak sedang menyerukan kompromi terhadap keyakinan iman, juga tidak meminta kesamaan dalam segala hal, termasuk dalam hal preferensi pribadi. Sebaliknya, ia mendorong mereka untuk memiliki sikap Kristus yang berfokus pada Injil. Bila keduanya kembali pada Injil dan meneladani sikap Kristus, mereka akan dapat kembali melayani bersama. Filipi 2:1–11 menjadi dasar yang kuat dan relevan dalam konteks ini, dan kedua wanita itu menjadi cerminan nyata dari bagaimana kebenaran tersebut dapat dihidupi.

Kedua, Paulus mengajak pihak ketiga untuk turun tangan dalam proses ini (Filipi 4:3a). Ia memanggil seorang yang disebut sebagai “teman sejati” untuk membantu mereka. Meski identitas orang ini tidak jelas—ada kemungkinan nama aslinya adalah Syzygus—Paulus dan jemaat Filipi tahu siapa yang dimaksud. Paulus meminta orang ini bertindak sebagai pendamai. Tampaknya proses pemulihan telah dimulai, dan Paulus meminta agar hamba ini membantu menyelesaikannya sepenuhnya (lih. O'Brien, Epistle, hlm. 481).

Tindakan ini menekankan bahwa rekonsiliasi bukan hanya urusan pribadi, tetapi tanggung jawab seluruh tubuh Kristus. Seperti yang diungkapkan oleh Kent Hughes, Rasul Paulus tidak memberikan solusi praktis secara rinci, tetapi mengarahkan keluarga jemaat untuk ikut berperan dalam perdamaian, dengan pendekatan yang bijak dan penuh kasih (Filipi, hlm. 164). Sebagai anggota tubuh Kristus, kita dipanggil untuk menjaga kesatuan Roh (Efesus 4:3) dan tidak membiarkan rasa takut "ikut campur" menghalangi upaya pendamaian yang berlandaskan Injil.

Jika kita sendiri menyakiti saudara seiman, kita tidak bisa berkata bahwa itu adalah urusan pribadi semata. Karena sebagai bagian dari tubuh Kristus, setiap dosa atau konflik yang tidak terselesaikan akan mempengaruhi seluruh komunitas. Paulus tidak segan menyampaikan peringatan kepada jemaat dan memanggil seseorang untuk menjadi penengah karena kasihnya pada gereja dan keinginannya agar tubuh Kristus tetap sehat dan bertumbuh.

Ketiga, Paulus menjelaskan alasan mengapa kedua wanita ini perlu diperdamaikan (Filipi 4:3b): karena Injil itu sendiri. Dalam cara yang indah, Paulus mengoreksi sambil tetap menguatkan. Ia menyatakan keyakinannya bahwa Euodia dan Sintikhe adalah saudari seiman yang sejati — “nama mereka tercatat dalam kitab kehidupan” (bandingkan Ibrani 12:23). Gereja di bumi seharusnya mencerminkan kesatuan yang ada di surga, dan betapa menyedihkan bila sesama orang percaya gagal menyelesaikan perbedaan yang tidak menyangkut doktrin.

Paulus juga menekankan bahwa mereka adalah rekan sekerja yang setia dalam pelayanan Injil. Mereka telah “berjuang bersama” dengan Paulus, bersama dengan rekan-rekan seperti Klemens dan lainnya yang tidak disebutkan namanya. Bukan hanya nama mereka tertulis di surga, tetapi mereka telah menjadi saksi yang hidup tentang bagaimana Injil dijalankan dalam komunitas umat Allah. Namun, sekarang mereka terpecah. Karena itu, Paulus mengingatkan kembali: “Hendaklah kamu sehati sepikir di dalam Tuhan.”

📜 Alasan Paulus Mendorong Jemaat Membantu:

  • Keduanya adalah saudari dalam Kristus. Paulus percaya bahwa nama mereka tertulis dalam kitab kehidupan — suatu pengakuan yang jarang ia nyatakan.
  • Mereka pernah bekerja keras bersama Paulus dalam pelayanan Injil, bersama Klemens dan rekan-rekan lainnya (yang juga tidak dijelaskan lebih lanjut).
  • Paulus menekankan bahwa identitas penuh orang-orang ini tidak sepenting fakta bahwa Tuhan mengenal mereka — dan bahwa mereka milik-Nya.

Implikasi untuk Tata Gereja:

Bagian ini juga menyiratkan aspek pemerintahan gereja. Beberapa menganggap kedua perempuan ini memiliki peran kepemimpinan, meskipun Paulus tidak secara eksplisit menyebut jabatan mereka. Namun dua hal menonjol:

  1. Paulus meminta seseorang yang memiliki otoritas untuk menjadi penengah — kemungkinan seorang pemimpin gereja.
  2. Masalah ini ditangani secara terbuka dalam komunitas jemaat, menunjukkan bahwa gereja saat itu berfungsi sebagai tubuh yang hidup, yang menangani masalah secara transparan, jujur, dan penuh kasih.

ü  Bersukacitalah di dalam Tuhan (4:4)

Perjuangan Umum Orang Kristen: Memelihara Sukacita

v Kebutuhan Akan Sukacita:

Paulus merasa perlu untuk kembali menekankan perintah untuk “bersukacita.” Ini menandakan bahwa bahkan jemaat yang teladan seperti jemaat Filipi pun bisa mengalami kesulitan dalam mempertahankan hati yang bersukacita. George Müller pernah berkata, "Tugas utama saya setiap pagi adalah membuat jiwaku bahagia dalam Tuhan." Pernyataan ini menyadarkan kita bahwa sukacita bukanlah sesuatu yang otomatis hadir setiap hari. Bahkan tokoh-tokoh besar dalam sejarah iman pun mengalami musim kekeringan rohani dan pergumulan emosional.

v Penyebab Hilangnya Sukacita:

Banyak faktor bisa mengganggu dan mencuri sukacita kita. Salah satunya adalah kecemasan, seperti yang disebutkan dalam Filipi 4:6. Namun, bukan hanya itu—kesedihan karena kehilangan, tekanan pekerjaan, penyakit, konflik hubungan, dan berbagai kesulitan hidup lainnya juga dapat melemahkan semangat dan membuat kita kehilangan sukacita.

v Solusi Alkitabiah:

Perhatikan bagaimana Paulus tidak mengatakan, “Bersukacitalah jika keadaanmu baik.” Sebaliknya, ia memberi perintah: “Bersukacitalah di dalam Tuhan senantiasa” (Filipi 4:4). Sukacita sejati bukan bergantung pada situasi, melainkan pada hubungan yang hidup dengan Kristus. Paulus menulis kata-kata ini bukan dari tempat yang nyaman, melainkan dari balik jeruji penjara. Jemaat Filipi tentu masih mengingat bagaimana Paulus dan Silas pernah memuji Tuhan dalam penjara meskipun tubuh mereka penuh luka akibat pemukulan.

Sukacita Paulus berasal dari pengenalan akan Kristus, bukan dari keadaan luar. Banyak orang berpikir sukacita muncul ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan. Namun, kebenaran Injil mengajarkan bahwa sukacita yang sejati muncul ketika kita sadar akan apa yang seharusnya kita terima (hukuman), dan apa yang justru kita terima dalam anugerah (keselamatan). Ketika Anda sadar bahwa Anda diselamatkan dari murka Allah dan kini hidup di dalam kasih-Nya, maka sukacita sejati akan memenuhi hati Anda.

v Ilustrasi dari Budaya Populer:

Lagu “Happy” oleh Pharrell Williams menggambarkan bagaimana seseorang menjadi bahagia ketika ia menemukan cinta. Demikian pula, seseorang yang dahulu hidup dalam dosa, lalu ditransformasi oleh kasih Yesus, seharusnya dipenuhi dengan sukacita yang mendalam. Paulus, orang paling bahagia di Roma, justru berada dalam penjara! Apa yang memberinya sukacita? Kesadaran akan keselamatan dalam Kristus. Seperti yang dikatakan Daud dalam Mazmur 40:1–3, saat Tuhan menariknya keluar dari lubang kebinasaan, Ia juga memberinya “nyanyian baru”. Kita pun dipanggil untuk memuji Tuhan dengan sukacita yang tulus dari hati.

v Instruksi: Bersukacitalah Senantiasa:

Paulus menggunakan bentuk perintah, bukan saran: “Bersukacitalah selalu di dalam Tuhan.” D. A. Carson mencatat bahwa ini adalah perintah ilahi, bukan motivasi semata (lih. Basics, hlm. 106). Meskipun akan ada masa duka dan air mata, orang Kristen tetap dapat berkata seperti Paulus: “seperti berdukacita, namun selalu bersukacita” (2 Korintus 6:10). Paulus tidak sedang menyuruh kita berpura-pura bahagia atau menyangkal realitas. Ia mengajarkan bahwa di tengah penderitaan pun kita dapat menimba sukacita dari sumur keselamatan yang tidak pernah kering.

v Efek dari Sukacita yang Konsisten:

Bayangkan jika setiap orang di gereja Anda hidup dalam sukacita yang terus-menerus. Banyak dosa akan teratasi secara alami oleh hati yang puas dalam Kristus: iri hati, gosip, ketamakan, kesombongan, ketidakpuasan, hingga keluhan—semuanya berakar pada hati yang tidak menemukan sukacita sejati dalam Tuhan.

Sukacita yang mendalam dalam pelayanan juga menyenangkan hati Tuhan. Sikap kita saat melayani penting bagi-Nya. Maka, mari kita terus mengingat kemurahan Tuhan atas hidup kita, agar kita dituntun untuk hidup dengan sukacita yang nyata, penuh ucapan syukur, dan memuliakan Dia.

ü  Dikenal karena Kemurahan Hati (4:5)

Panggilan Paulus untuk Menunjukkan Kemurahan Hati dalam Terang Kedekatan Tuhan

Dalam bagian selanjutnya dari nasihatnya kepada jemaat Filipi, Paulus menyampaikan sebuah kalimat penting yang memiliki berbagai terjemahan:

  • “Biarlah kemurahan hatimu diketahui oleh semua orang. Tuhan sudah dekat.” (HCSB)
  • “Biarlah kewajaranmu diketahui semua orang.” (ESV)
  • “Biarlah semua orang melihat bahwa kamu perhatian dalam segala hal.” (NLT)
  • “Biarlah rohmu yang lembut diketahui oleh semua orang.” (NASB)
  • “Biarlah kelembutanmu terlihat jelas bagi semua orang.” (TB)

Para penafsir Alkitab mencatat bahwa kata Yunani yang digunakan di sini sangat kaya makna dan tidak mudah diterjemahkan dengan satu padanan yang tepat. Secara umum, istilah ini mencerminkan sikap sabar yang penuh kelembutan dan kasih karunia terhadap orang lain — suatu kerendahan hati yang tidak menuntut haknya sendiri dan tidak mudah terbakar emosi (Fee, Pauline Christology, hlm. 406). Sikap ini kontras dengan sifat mementingkan diri dan suka bertengkar (Carson, Basics, hlm. 106).

Karakter ini jelas terlihat dalam kehidupan Yesus sendiri, yang meskipun dicaci maki dan menderita secara tidak adil, tetap menunjukkan kelembutan hati (lih. 2 Korintus 10:1; 1 Petrus 2:23). Paulus menekankan bahwa sikap seperti ini bukan hanya untuk pemimpin rohani (seperti yang disebutkan dalam 1 Timotius 3:3 sebagai syarat penatua), tetapi juga harus menjadi ciri khas setiap orang percaya—baik dalam relasi di dalam komunitas Kristen maupun saat berinteraksi dengan dunia luar.

Kemurahan hati ini sangat penting dalam upaya kita berdamai dengan sesama, terlebih di tengah ketegangan atau konflik. Ini menuntut kesabaran, kerelaan untuk mengesampingkan preferensi pribadi, dan hati yang siap menunjukkan kasih karunia. Sikap ini juga sangat krusial ketika kita menyuarakan kebenaran Kitab Suci kepada budaya yang sedang bergulat dengan isu-isu sensitif, seperti homoseksualitas dan pernikahan sejenis. Dalam situasi semacam itu, kita dipanggil untuk berbicara dengan keberanian yang teguh, tetapi juga dengan kemurahan hati yang mencerminkan Kristus.

Maka, pertanyaan reflektif yang dapat kita ajukan pada diri sendiri adalah:
Apakah kemurahan hati saya terlihat oleh orang-orang di sekitar saya—teman, keluarga, tetangga, dan anggota jemaat? Lebih jauh lagi, apakah saya sungguh menginginkan karakter ini? Apakah saya ingin dikenal karena kuasa, pengaruh, atau justru karena sifat yang lembut dan penuh kasih?

Kiranya kita, baik secara pribadi maupun sebagai gereja, dikenal bukan karena kepopuleran, tetapi karena mencerminkan kelembutan dan kasih Kristus dalam setiap hubungan.

“Tuhan sudah dekat.”

Frasa ini menimbulkan perdebatan penafsiran: apakah maksudnya adalah waktu (temporal) atau kehadiran (spasial)? Jika itu merujuk pada kedatangan Kristus yang segera (temporal), maka seruan Paulus bisa dibaca sebagai peringatan: “Hiduplah dengan benar, karena Yesus akan datang kembali. Apakah Anda ingin ditemukan-Nya dalam keadaan kasar dan egois?”

Namun, jika maknanya adalah kedekatan kehadiran Tuhan secara rohani (spasial), maka Paulus sedang mengingatkan jemaat bahwa Tuhan senantiasa hadir dan dekat dengan mereka, siap menopang, menghibur, dan menolong mereka dalam menghadapi kesulitan. Makna ini sesuai dengan banyak bagian Perjanjian Lama, seperti Mazmur 34:18, “TUHAN dekat kepada orang-orang yang patah hati.”

Kedua penafsiran ini tidak saling bertentangan dan bisa saja keduanya dimaksudkan oleh Paulus (O'Brien, Epistle, hlm. 489). Kepastian akan kedatangan Kristus mendorong kita untuk hidup dalam kekudusan, sedangkan kesadaran akan kehadiran-Nya yang mendekat menguatkan kita untuk hidup dalam kasih, damai, dan kemurahan hati setiap hari.

Akhirnya, kedekatan Tuhan—baik dalam waktu maupun kehadiran—harus mendorong kita untuk:

  • berdoa dengan keyakinan,
  • menyelesaikan konflik dengan kelembutan,
  • mengatasi kecemasan dengan pengharapan,
  • dan melayani dengan sukacita.

ü  Meredakan Kecemasan melalui Doa (4:6-7)

Penulis Amsal menuliskan sebuah kebenaran universal: "Kegelisahan dalam hati membebani orang itu" (Amsal 12:25). Kecemasan adalah seperti memikul tas berat yang tak pernah dilepaskan, yang menyertai setiap langkah kita sepanjang hari. Banyak dari kita mengamini kebenaran ini, namun di lubuk hati, kita ragu apakah benar perintah Paulus dalam Filipi 4:6–7 bisa diandalkan: Mungkinkah kecemasan kita sungguh-sungguh bisa diatasi lewat doa? Mungkinkah damai sejahtera Allah benar-benar dapat menjaga hati dan pikiran kita?

Jawabannya: Ya. Benar-benar bisa.

Ajaran Paulus di bagian ini tidak hanya sejalan dengan pengajaran Yesus dalam Matius 6:25–34, tetapi juga mencerminkan suara Sang Gembala sendiri. Ada gema kasih dan kebenaran Yesus dalam setiap kata Paulus.

Apa Itu Kecemasan?

Kekhawatiran muncul ketika kita membayangkan masa depan dari sudut pandang terburuk yang bisa terjadi. John Piper menyebutnya sebagai “keinginan yang kuat terhadap sesuatu, disertai rasa takut karena kemungkinan tidak mendapatkannya.” Umumnya ini berkaitan dengan hal-hal yang sangat kita hargai yaitu uang, keluarga, relasi, masa depan.

Bayangan akan skenario terburuk mendorong kita untuk cemas:

  • Bagaimana nasib anak-anak saya?
  • Bagaimana saya membayar sewa tahun depan?
  • Siapa yang akan menjadi pasangan hidup saya?

Namun, tidak semua “kekhawatiran” bersifat negatif. Ada jenis “kecemasan sehat”—seperti lonceng peringatan yang menyadarkan kita akan tanggung jawab. Paulus sendiri menyebut bahwa ia memiliki “kecemasan terhadap semua gereja” (2 Korintus 11:28), yang merupakan bentuk perhatian dan kasih yang aktif terhadap pertumbuhan rohani umat Tuhan.

Demikian juga, Yesus sendiri menangisi Yerusalem dan merasa sedih dalam menghadapi penderitaan dunia, tetapi Ia tidak pernah berdosa karena kekhawatiran. Dengan kata lain, ada “beban suci” yang mendorong kita untuk bertindak.

Namun, Ada Kecemasan yang Berdosa

Kekhawatiran berdosa adalah kecemasan yang membelenggu—seperti membawa alarm berbunyi sepanjang hari, seperti yang pernah dikatakan John Ortberg. Kekhawatiran semacam ini membuat kita hidup dalam keadaan panik terus-menerus, dan merampas kedamaian sejati.

Ini adalah bentuk dari "ateisme fungsional"—karena kita hidup seolah-olah Tuhan tidak berdaulat, tidak hadir, atau tidak peduli. Kita mulai percaya pada pesan-pesan batin yang salah, seperti nabi palsu yang berkata, “Tuhan tidak akan menolongmu.”

Mengapa Jemaat Filipi Cemas?

Seperti kita, mereka menghadapi berbagai sumber stres dan kecemasan:

  • Ancaman dari luar: Paulus memperingatkan agar mereka tidak takut terhadap lawan-lawan mereka (Filipi 1:28).
  • Konflik internal: Euodia dan Sintikhe adalah contoh nyata (Filipi 4:2–3).
  • Kekhawatiran atas kondisi Paulus sendiri yang sedang menderita dalam penjara (Filipi 4:10).
  • Kekhawatiran atas Epafroditus, utusan mereka yang pernah sakit parah (Filipi 2:26).
  • Kecemasan finansial dan pemeliharaan masa depan (Filipi 4:19).

Realitas hidup ini sangat relevan bagi kita hari ini ketakutan akan ekonomi, relasi, masa depan, dan banyak lagi.

Dampak Kecemasan

Kekhawatiran bukan hanya membunuh sukacita, tetapi juga:

  • Membuat kita fokus pada diri sendiri dan menjauh dari misi Allah.
  • Mengganggu ibadah dan pelayanan kita kepada orang lain.
  • Mengganggu kesehatan fisik dan emosional: gejala seperti insomnia, ketegangan otot, perubahan nafsu makan, hingga tekanan darah tinggi.

Solusi dari Firman Tuhan

Meskipun dunia menawarkan solusi seperti terapi pernapasan, yoga, atau bahkan pengobatan kita harus memulai dari Firman Tuhan.

Damai sejahtera yang sejati berasal dari Allah sendiri.

Paulus tidak menciptakan ajaran baru, tetapi menggemakan pengajaran Yesus yang menyentuh hati dan menenangkan pikiran. Moisés Silva menyatakan bahwa "sangat mungkin Paulus merujuk secara langsung pada ajaran Yesus di sini" (lih. Filipi, hlm. 195).

Dalam Matius 6:25–34, Yesus mengajarkan:

“Jangan khawatir akan hidupmu... Pandanglah burung-burung di udara... Bukankah kamu jauh lebih berharga daripada mereka?”

“Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.”

Yesus tahu pergumulan batin manusia dan memberikan solusi yang penuh kuasa: percaya kepada Pemelihara yang setia.

Paulus menyampaikan hal yang sama: Jangan khawatir tentang apapun, tetapi dalam segala hal, nyatakan permintaanmu kepada Allah dalam doa dan ucapan syukur. Maka damai sejahtera Allah... akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus (Filipi 4:6–7).

Tiga Langkah Paulus dalam Menghadapi Kecemasan: Jalan Menuju Damai Sejahtera Ilahi

Dalam Filipi 4:6–7, Rasul Paulus merangkum pendekatan yang sangat praktis dan sekaligus rohani dalam menghadapi kecemasan. Ajarannya ini sangat selaras dengan perkataan Tuhan Yesus dalam Matius 6, dan berisi tiga langkah utama yang mengarahkan umat percaya pada damai sejahtera dari Allah yang tidak bisa dijelaskan dengan akal manusia.

1.    Akui bahwa Kekhawatiran Itu Bukan Sekadar Kebiasaan — Itu Dosa yang Harus Ditinggalkan

“Janganlah khawatir tentang apa pun” (Filipi 4:6)

Perintah Paulus ini tegas dan langsung. Ia tidak menyarankan, tetapi memerintahkan: jangan hidup dalam kekhawatiran. Ini bukan sekadar persoalan kepribadian atau kebiasaan yang bisa ditoleransi. Sama seperti iri hati, keserakahan, atau perzinahan, kekhawatiran yang berdosa harus dikenali sebagai pelanggaran terhadap kepercayaan kepada Tuhan.

Paulus menggemakan ajaran Yesus yang mengatakan tiga kali dalam Matius 6 agar murid-murid-Nya tidak hidup dalam kekhawatiran. Kekhawatiran yang melemahkan iman adalah bentuk “kecemasan pagan” cara hidup yang mengabaikan kuasa, kebaikan, dan kedaulatan Tuhan.

2.    Serahkan Semua Kekhawatiranmu kepada Tuhan dalam Doa dan Syukur

“Dalam segala hal, nyatakanlah keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur” (Filipi 4:6b)

Solusi utama untuk kecemasan bukan terapi modern atau strategi manusia, melainkan doa. Doa adalah jalan pengalihan beban dari tangan manusia kepada Allah. Ketika kita datang kepada-Nya dengan segala pergumulan dan menyampaikannya dalam doa yang tulus dan penuh ucapan syukur, kita sedang membuka jalan bagi damai sejahtera Tuhan untuk masuk ke dalam hati kita.

Martin Luther dengan jenaka berkata, “Berdoalah dan biarkan Tuhan yang khawatir.” D.A. Carson menambahkan bahwa sangat jarang ditemukan orang yang terus-menerus khawatir namun memiliki kehidupan doa yang sehat dan mendalam.

Apakah kita meluangkan waktu untuk doa yang tidak tergesa-gesa dan penuh penyerahan? Mazmur 91:1–2 menegaskan bahwa mereka yang tinggal di dalam hadirat Allah akan menemukan perlindungan dan damai sejati.

3.    Lawan Kekhawatiran dengan Iman kepada Janji dan Pemeliharaan Allah

“Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus” (Filipi 4:7)

Damai sejahtera yang dijanjikan bukanlah hasil dari tidak adanya masalah, tetapi hasil dari kehadiran Tuhan di tengah masalah. Seperti prajurit Romawi yang berjaga dengan waspada, demikian juga damai sejahtera Tuhan akan menjaga dan mengawal hati serta pikiran kita dari serangan ketakutan dan kecemasan.

Janji ini “melampaui akal” - artinya, damai itu hadir bahkan ketika segala keadaan tidak masuk akal untuk tetap tenang. Paulus menulis ini dari dalam penjara! Tetapi ia mengalaminya secara pribadi: damai sejahtera yang tidak bergantung pada keadaan, melainkan pada keintiman dengan Tuhan.

Kedamaian Ilahi Tidak Dapat Ditiru Dunia  Hanya Bisa Diberikan oleh Pangeran Damai

Terapi, obat, atau teknik pernapasan mungkin berguna pada tingkat tertentu. Namun, damai sejahtera seperti yang dijanjikan Paulus hanya dapat dialami oleh mereka yang mengenal Yesus — Pangeran Damai (Yesaya 9:5).

Jika Anda telah diselamatkan dalam Kristus, maka Anda memiliki akses penuh ke sumber damai ini. Maka, berjuanglah memeluk janji itu: berdoalah, percayalah, dan tenanglah dalam Dia.

Tiga Janji yang Menenangkan Jiwa dari Filipi 4:

  1. Tuhan Itu Dekat (ay. 5)

Entah merujuk pada kehadiran-Nya saat ini atau pada kedatangan-Nya kembali, fakta bahwa Tuhan dekat adalah sumber penghiburan yang dalam. Kita tidak sendirian dalam pergumulan kita.

  1. Damai-Nya Menjaga Kita (ay. 7)

Damai ini aktif. Ia menjaga hati kita dari serangan ketakutan. Ia melampaui logika. Ia berasal dari Allah sendiri.

  1. Tuhan Akan Memenuhi Semua Kebutuhan Kita (ay. 19)

Tuhan tidak menjanjikan kekayaan duniawi, tetapi Ia berjanji untuk memberikan segala sesuatu yang kita perlukan untuk hidup bagi-Nya dan melakukan kehendak-Nya.

Serahkan dan Percayalah

Kita menjadi cemas ketika kita melupakan janji-janji Tuhan. Kita mulai panik ketika kita berpaling dari pemeliharaan-Nya.

Tetapi Firman Tuhan berkata:

“Serahkan kekhawatiranmu kepada TUHAN, karena Dia peduli padamu.” (1 Petrus 5:7)
“Serahkan bebanmu kepada TUHAN, dan Dia akan menopang kamu.” (Mazmur 55:22)
“Carilah dahulu Kerajaan Allah... dan semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” (Matius 6:33)

Lawan rasa takut dengan janji Tuhan. Tenangkan jiwamu dalam kasih karunia-Nya.
Dan percayalah bahwa damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal akan menopangmu—hari ini dan sampai selama-lamanya.

ü  Pikirkan Hal-hal yang Patut Terpuji (4:8-9)

Pikiran yang Diperbarui dan Damai yang Menyertai: Pikiran Kristen Menurut Paulus

Setelah membahas sukacita, kelembutan, doa, dan damai sejahtera Allah, Paulus mengakhiri bagian penting ini dari Filipi 4 dengan fokus pada satu aspek terakhir dari kehidupan rohani yang sangat krusial: kehidupan pikiran orang percaya. Untuk mengalami pertumbuhan dalam keserupaan dengan Kristus, kita harus memiliki pikiran yang dibentuk dan diperbarui oleh kebenaran Allah.

1.    Pembaruan Pikiran: Inti dari Perubahan Sejati

Dalam Roma 12:1–2 dan Efesus 4:23, Paulus menegaskan bahwa transformasi sejati dalam hidup seorang Kristen berawal dari pembaruan pikiran. Pikiran yang ditebus menghasilkan kehidupan yang ditransformasi. Inilah sebabnya Tuhan menganugerahkan kepada umat-Nya Firman-Nya sebagai sarana utama untuk membersihkan dan memperbaharui cara berpikir kita.

Yesus sendiri dalam Yohanes 17:17 berdoa, “Kuduskanlah mereka dalam kebenaran; Firman-Mu adalah kebenaran.” Daud juga memohon dalam Mazmur 139:23–24 agar Tuhan menyelidiki pikirannya dan menyingkapkan segala hal yang menyesatkan. Ia tahu bahwa pertobatan yang sejati menyentuh lapisan terdalam dari pikiran manusia.

Yesus dalam Khotbah di Bukit pun menekankan bahwa dosa tidak dimulai dari tindakan luar, tetapi dari pikiran terdalam. Pikiran penuh kebencian setara dengan pembunuhan (Mat. 5:21–22), dan nafsu dalam hati sejajar dengan perzinahan (Mat. 5:27–28). Maka, apa yang kita pikirkan itu penting jauh lebih penting daripada yang sering kita bayangkan.

2.    Pikirkan Hal-Hal yang Layak Difikirkan

Paulus kemudian menyampaikan daftar delapan hal yang patut dipikirkan (Filipi 4:8):

“Semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, jika ada kebajikan dan jika ada pujian, pikirkanlah semuanya itu.”

Kata kerja logizomai yang digunakan di sini berarti “merenungkan secara mendalam,” atau “mempertimbangkan secara sungguh-sungguh.” Ini adalah panggilan untuk secara aktif mengisi pikiran kita dengan hal-hal yang bermoral tinggi, bermakna, dan menggambarkan karakter Allah.

Ben Witherington mencatat bahwa tindakan ini menuntut disiplin — kita dipanggil untuk berdiam dalam, merenungkan, dan menyaring segala hal yang kita serap dari dunia ini melalui lensa Kitab Suci (lih. Friendship and Finances, hlm. 117).

3.    Budaya dan Hal-Hal Terpuji: Menyaring dengan Lensa Firman

Menariknya, kualitas-kualitas bajik yang disebut Paulus bisa kita temukan dalam berbagai aspek budaya: dalam keindahan seni, keagungan alam, keberanian dalam militer, kejujuran dalam kepemimpinan, atau pengorbanan dalam keluarga. Namun, hal-hal ini harus disaring melalui kebenaran Alkitab.

Paulus tidak mengizinkan kita untuk menjadi “duniawi” atau menentukan moralitas berdasarkan standar manusia. Sebaliknya, ia memanggil kita untuk menawan setiap pikiran dan menundukkannya kepada ketaatan kepada Kristus (2 Korintus 10:5). Pikiran Kristen bukanlah pikiran yang pasif, tetapi yang aktif, selektif, dan tunduk kepada Firman.

4.    Teladan Hidup yang Layak Ditiru

Selain merenungkan kebenaran, Paulus juga menasihatkan agar jemaat Filipi meniru teladan hidup yang kudus:

“Apa yang telah kamu pelajari dan terima dan dengar dan lihat padaku, lakukanlah itu.” (Filipi 4:9)

Paulus tidak hanya mengajar lewat kata-kata, tetapi melalui hidupnya sendiri. Ia mendorong jemaat untuk memperhatikan bagaimana para pemimpin rohani berpikir, berbicara, dan hidup. Dengan mengikuti jejak mereka, umat percaya akan mengalami kedamaian yang nyata.

Nabi Yesaya berkata:

“Engkau menjaga orang yang hatinya teguh dalam damai sejahtera yang sempurna, karena kepada-Mulah ia percaya.” (Yesaya 26:3)

5.    Yesus: Teladan Tertinggi dan Sumber Damai Sejati

Paulus menggembalakan jemaat Filipi dengan kasih dan hikmat. Ia memanggil mereka untuk:

  • hidup dalam kesatuan
  • bersukacita di dalam Tuhan
  • bersikap lembut dan murah hati
  • mengganti kecemasan dengan doa dan syukur
  • dan mengisi pikiran dengan hal-hal yang bajik dan terpuji

Namun, semua seruan ini harus diikat dalam pengharapan kepada Kristus.
Yesus adalah Sang Pendamai, Gembala yang lembut, dan Juruselamat yang setia.
Ia tidak pernah melanggar satu pun dari perintah-perintah ini. Dia menjadi jalan damai bagi kita. Dia menanggung kecemasan terdalam kita di kayu salib dan menggantikannya dengan damai Allah yang tak tergoyahkan.

Yesus membayar hukuman bagi mereka yang berdosa bahkan dalam pikirannya, dan memberi mereka pikiran baru pikiran yang hidup, pikiran yang diperbaharui. Maka, arahkanlah pikiranmu pada-Nya, dan tirulah Dia.

Penutup: Serahkan Pikiranmu, Alami Damai Sejahtera-Nya

Apapun yang memenuhi pikiranmu, serahkanlah kepada Kristus. Biarkan Firman-Nya membasuh dan memurnikannya. Isilah batinmu dengan kebenaran yang murni dan pikirkanlah hal-hal yang mulia. Pandanglah kepada Juruselamat yang memperbarui dan menjaga hatimu, dan kamu akan mengetahui damai sejahtera Allah bukan hanya sebagai konsep, tetapi sebagai pengalaman nyata yang memelihara dan membentuk hidupmu setiap hari.

"Kesadaran Akan Belas kasihan Tuhan" Yakobus 5:11

Ayat Yakobus 5:11 “Sesungguhnya kami menyebut mereka berbahagia, yaitu mereka yang telah bertekun; kamu telah mendengar tentang ketekuna...